Halloween party ideas 2015


Sebagian dari kami pernah mendengar nama ‘kawah ratu’. Nama yang diceritakan oleh teman-teman yang pernah ke sana. Nama ini sekaligus mengundang rasa penasaran. Ada apa di sana? Kata orang, ada kawah yang indah. Layaknya sang ratu—di mana-mana mesti cantik—kawah ini mengundang orang untuk melihatnya.

Kesempatan ke sana ditunggu-tunggu. Kemarin, ke Air Terjun, hari ini mesti ke Kawah Ratu. Kawah yang terletak di ketinggian 1.338 meter dpl, dan memiliki suhu sekitar 10-24 derajat Celcius ini menjadi tempat kedua yang kami kunjungi saat camping kali ini. Rombongan pun dipecah menjadi beberapa kelompok. Kami melewati pos jaga pintu masuk Cidahu. Tidak jauh dari tempat kami berkemah.

Menurut catatan seorang blogger yang dimuat di tenjolaya.wordpress.com, terdapat tiga jalur menuju Kawah Ratu. Salah satunya adalah yang kami lewati, yang berada di Selatan Gunung Salak. Dua lainnya adalah melalui jalur Pasir Reungit dan Perkemahan Gunung Bunder. Keduanya berada di Utara Gunung Salak dan berada di wilayah Kabupaten Bogor.

Perjalanan cukup melelahkan. Mulai dengan mendaki sepanjang hutan. Dari pos jaga menuju pintu gerbang saja sudah menanjak. Di sini ada jalur yang diaspal. Sesekali ada mobil wisata lewat. Kami memilih berjalan kaki dan melalui jalur tikus sehingga cepat sampai di pintu gerbang.*Semua gambar dari google images

Dari pintu gerbang menuju daerah Kawah Ratu, terdapat medan yang menantang. Ada tanjakan, turunan, jalan tanah yang licin, diselingi bebatuan. Siap-siap saja memasang kuda-kuda sehingga tidak terpeleset. Bagi yang tidak biasa melewati jalan tanah nan licin, rute ini menjadi latihan. Sesekali ada yang terjungkal. Belum lagi, ada cabang pohon yang menutup badan jalan. Rute ini juga yang dilalui oleh pendaki Gunung Salak sehingga jangan heran kalau lebar jalan seukuran dua bahu manusia.

Selain itu, di jalan ini terdapat banyak lintah darat. Hewan yang mengisap darah kotor manusia. Beruntunglah mereka yang memiliki banyak darah kotor dalam tubuhnya. Namun, jangan terlena. Sebab, kadang-kadang lintah menempel di tempat yang tidak diinginkan. Bahkan ada yang menempel di paha, tidak sadar kalau dia sudah di dalam celana panjang yang kita pakai. Anggota rombongan kali ini rupanya cekatan sehingga tidak ada yang kecolongan lintah. Hanya menempel di betis saja. Beberapa orang bahkan membiarkannya berlama-lama. Ketika di kemah baru dilepas.

Ketika tiba di daerah Kawah Ratu, bau belerang sudah tercium. Segera kami membaca petunjuk di papan tua, dilarang menunduk terlalu lama. Menghirup gas beracun seperti belerang dapat mengganggu pernapasan bahkan ada yang tidak bertahan sehingga mati. Konon, sekitar tahun 2010, seperti dikutip dalam ruudtje.blogspot.com, ada 6 orang pelajar yang meninggal karena menghirup gas beracun ini.
Pemandangan indah pun terpampang di depan mata. Beberapa teman sudah tidak sabar menyentuh air hangat di beberapa tempat. Di sini mengalir air hangat yang bisa menyembuhkan penyakit kulit. Selain itu, pemandangan lain adalah bagian tengah kawah yang ditumbuhi beberapa pohon saja. Pohon ini rupanya bisa bertahan di tengah daerah yang mengeluarkan air hangat serta bau belerang. Sebagian besar memang tampak tanah kosong tanpa tumbuh-tumbuhan. Sedangkan di luar kawasan kawah, ada tetumbuhan seperti pohon di hutan.

Kawah yang berdekatan dengan dua kawah lain ini bisa menjadi potensi wisata yang menjanjikan. Asal saja dikelola dengan baik. Rute perjalanan misalnya mesti dibersihkan sehingga pengunjung tidak kesulitan. Selain itu, pengunjung diharapkan untuk menertibkan sampah bawaannya khususnya yang berbahan plastik. Kalau dibebankan kepada pengelola atau penjaga kawasan, tugas ini tidak berhasil. Dua kawah lainnya adalah Kawah Mati I (1.330 meter) di Sebelah Utara Kawah Ratu dan Kawah Melati II (1.335 meter) di Sebelah Selatan.

Setelah berfoto bersama, rombongan kembali ke kemah. Perjalanan pulang cukup lancar sebab, semuanya sudah hafal dengan rute perjalanan. Hanya saja beberapa orang tetap merasa capek. Bahkan ada yang berkomentar kalau tahu begini rutenya, saya tidak datang. Meski demikian sebagian besar anggota rombongan puas. Tenaga yang dikeluarkan dibayar dengan pemandangan indah di Kawah Ratu. Pemadangan alam yang mengagumkan, yang tak sebanding dengan nominal uang dan harta manusia. Maka, hormatilah alam ciptaan Tuhan. Di situ tersimpan sejuta keindahan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Hanya pengalaman yang membuat manusia kagum pada ciptaan Tuhan. (Habis)
Cempaka Putih, 21 Juli 2011

 Gordi Afri

foto dari google
Malam kedua camping di Batu Tapak. Tidak ada lagi kehangatan saat tidur. Padahal selimut tebal bahkan springbad sudah melilit di seluruh badan. Apa sebabnya? 

Belum lagi terpal yang menjadi alas tidur basah. Duduk di atas alas yang hampir basah hingga permukaan. Di bawah terpal itu merembes air. Air dari mana di daerah gunung seperti ini?

Beginilah situasi malam kedua di tempat camping. Malam yang tidak bersahabat. Kami tidak bisa istirahat dengan nyenyak di tengah kedinginan itu. Bukan hanya dingin karena angin. Malam ini dingin itu muncul dari air hujan. Alas tidur pun basah.

Air itu turun melalui dinding kemah yang menyatu dengan atapnya. Pelan-pelan dia merembes ke seluruh daerah yang ditutup terpal. Tanah datar membuat air itu tergenang. Masih ada beberapa bagian kecil di tenda besar yang belum tersentuh air. Di situlah berdempetan beberapa teman. Mencari tempat yang nyaman untuk istirahat.

Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Hujan belum reda. Beberapa teman menengok kondisi tenda. Merekalah yang menghuni empat tenda kecil. Di situ, air merembes juga. Tenda yang langit-langitnya berbentuk lancip. Dindingnya menyatu dengan atap. Jangan heran kalau air dari atas turun melalui dinding itu.

Meski demikian, kondisinya tidak separah di tenda besar. Di sini, alas tenda terbuat dari bahan seperti terpal. Alas ini merupakan bagian dari tenda. Jadi, tenda ini mempunyai ruang yang ditutupi bagian-bagian tenda yang menyatu.

Dari langit-langit, dinding, hingga alas. Di langit-langit pun ada dua bagian. Bagian dalam menyatu dengan bagian yang berhubungan langsung dengan dinding. Sedangkan, bagian luarnya terpisah. Biasanya, bagian luar ini digelar di atas langit-langit dalam. Dia dipasang setelah bagian lain terpasang semua.

Penghuni tenda rupanya pintar. Mereka hampir mengalahkan kekuatan air yang merembes di bawah alas tenda. Mereka menggelar satu terpal lagi di dalam tenda. Jadi, ada dua alas. Alas pertama adalah terpal yang terpisah dari bagian tenda. Dan alas kedua yang menyatu dengan tenda.

Itulah sebabnya, saya dan beberapa teman penghuni tenda bisa tidur nyenyak malam ini. Namun, tidak semua bagian alas tenda kering. Sebagian kecil masih bisa dirembesi genangan. Air ini memang kuat pengaruhnya. Menembusi dua terpal. Bagian besar yang kering itu menjadi penyelamat bagi kami. Air ini menjadi penghambat istirahat bagi sebagian peserta camping.

Kondisi ini tak menyurut kebahagiaan kami di tempat ini. Masih ada canda dan tawa ria setelah kesokan paginya bangun kesiangan. Ini memang bagian dari warna-warni kegiatan camping. Ini hanya satu malam saja. Belum tersaingi dengan pemulung yang tidur di emperen toko pada musim dingin di Eropa. Tuhan punya cara tersendiri untuk melindungi semua anaknya di dunia ini. (Bersambung...)

Cempaka Putih, 11 Juli 2011
Gordi Afri



Minggu kemarin kita sudah melihat bagaimana aksi di hari pertama camping. Kini, kita tiba di hari kedua. Hari yang penuh dengan kekaguman akan indahnya alam.

Suhu masih dingin ketika kami keluar dari selimut. Balutan yang menghangatkan badan di dalam tenda. Langit cerah memancarkan panorama indah. Awan biru dan langit kemerahan. Ada apa di baliknya? Sebentar lagi sang mentari terbit. *Foto-foto dari dokumen pribadi

Beginilah pemandangan di awal hari ini. Beberapa teman sudah berkumpul, melihat terbitnya matahari. Satu orang siap dengan kamera di tangannya. Dia mengabadikan momen-momen sebelum mentari terbit. Mentari masih di balik bukit namun langit tampak kemerahan. Kemerahan yang datang dari sinar sang mentari. Pemandangan itulah yang mau diabadikan dan dilihat dengan mata telanjang.

Sangat wajar bagi mereka yang datang dari Jakarta. Pemandangan ini ‘mahal’ sebab di Jakarta tidak ada. Bagi yang datang dari daerah pegunungan, hal ini sudah biasa. Mereka sering melihatnya meski belum sadar akan keindahannya. Dalam kebersamaan ini, suasana kagum tetap muncul. Mereka yang dari pegunungan ikut kagum setelah sadar akan keindahannya. Sementara mereka yang dari kota sangat kagum karena melihat pemandangan baru.

Kekaguman di awal hari ini berlanjut dengan kekaguman berikutnya. Dari langit turun ke bumi. Dari matahari turun ke air. Air adalah harta karun bagi manusia. Itulah sebabnya orang menjaga kebersihan air. Air yang bersih menyehatkan manusia yang mengonsumsinya.

Masih berkelompok. Menuju air terjun. Pengelola Batu Tapak—tiga tahun lalu—menyebutnya Wisata Air Terjun Batu Tapak. Sebutan ini masih berlaku. Memang air terjun ini adalah obyek wisata. Bagian dari wisata Batu Tapak. Untuk sampai ke sana, kami harus berjalan kaki. Menyusuri jalanan menurun lalu menanjak. Melewati daerah persawahan. Kemudian, masuk hutan kayu. Kayunya mirip mahoni. Tidak tahu persis, apa nama kayunya.

Ketika tiba di air terjun, hampir semuanya kagum. Betapa tidak, airnya bersih. Beda dengan air selokan di Jakarta yang kotor dan bau. Air ini bening dan tidak berbau. Beberapa orang langsung menceburkan diri ke dalam genangan semacam kolam. Dinginnnnnn…..

Genangan ini menampung air yang mengalir dari ketinggian sekitar 6 meter. Arus dari atas cukup kuat. Beriaknya pun kuat. Di bawah, air ini akan membasahi batu-batu sungai. Batu-batu inilah yang membentuk genangan besar. Sebelum dialirkan ke tempat berikutnya, air ini memenuhi genangan ini. Di sinilah, kami mandi. Mandi dalam artian menceburkan diri ke dalam air. Ada pula yang berlama-lama membiarkan punggungnya diciprat arus air dari atas. Sebagian lagi berlagak seperti perenang mutiara. Menyelam sambil mencari batu yang disembunyikan.

Air di alam ini menyegarkan dan mencerahkan. Beberapa teman mengakui hal ini. Beda dengan air PAM yang disalurkan melalui pipa, air ini langsung dari sumber mata airnya. Agak terasa kalau air ini menyegarkan. Setelah mandi, beberapa teman berkomentar kalau air ini mencerahkan juga. Pikiran dibersihkan setelah menceburkan diri ke dalam genangan tadi.

Paradoks yang berkaitan secara tidak langsung. Yang satu pada fisik (menyegarkan), yang satu pada pikiran (mencerahkan). Beginilah kalau merasa dekat dengan alam. Kadang-kadang orang merasa sulit membayangkan kaitan alam dengan hidup. Hal sederhana ini membantu kita merasa dekat dengan alam. Matahari adalah bagian dari alam. Begitu juga dengan air. Air yang menyegarkan dan mencerahkan menjadi bukti kedekatan manusia dengan alam.

Sebelum sampai ke sini, kesulitan besar muncul. Kesulitan yang dialami oleh mereka yang tidak merasakan dinginnya air sungai alami. Bagi mereka yang hidupnya dihabiskan dengan kesibukan pekerjaan.  Tidak peduli dengan rekreasi di alam bebas. Sesekalilah, tinggalkan kesibukan pekerjaan di kantor dan mendekatlah ke alam bebas. Nikmatilah pagi bersama mentari. Nikmatilah air sungai dengan keindahannya. Orang yang jauh dengan alam bebas tidak akan mengalaminya. Namun, bagi masyarakat desa atau siapa saja yang berani mendekat ke alam  akan mengalaminya. Terima kasih Tuhan atas alam, ciptaan-Mu yang sungguh indah. (bersambung).

Cempaka Putih 7 Juli 2011
Gordi Afri


Udara dingin menusuk kulit. Terasa, sudah tengah hari. Bukannya merasa segar tetapi menggigil. Sinar matahari “terkalahkan” oleh dinginnya udara. Ya begitulah udara dingin di Batu Tapak ini.

Batu Tapak, terletak di kaki Gunung Salak, tepatnya di Cidahu, Sukabumi. Jangan heran kalau udaranya agak dingin. Apalagi, kami baru saja datang dari daerah panas, Jakarta. Untuk beberapa hari ke depan, kami jadi orang gunung. 


Segera setelah barang diturunkan dari mobil, kami mengangkutnya menuju tenda. Selain perlengkapan pribadi, seperti tas, kami membawa perlengkapan rekreasi, perlengkapan makan, dan perlengkapan masak. Tak lupa perlengkapan untuk kemah yakni 4 buah tenda. *Semua foto dari dokumen pribadi

Di lapangan sudah terpasang tenda semi pleton. Tenda ini berukuran lebih kurang 6 x 4m. Tenda ini ditopang dua besi penyangga utama dan 6 penyangga samping. Atapnya dari kain-plastik anti hujan. Namun, karena kondisi tenda sudah tua, di atapnya ditambahkan sebuah terpal tebal. Tenda ini mirip barak polisi dan tentara di tempat pengungsian.

Kami menyimpan semua perlengkapan di tenda besar ini. Sebagian menggelar tenda kecil yang kami bawa. Sebagian juga mengatur barang-barang di tenda besar. Sebagian lagi merancang perlengkapan dapur. Tempat gas dipasang, tempat masak, periuk, tempat piring-gelas-sendok, dan sebagainya. Menjelang makan siang, pukul 12, semuanya beres. Makan siang ini dibeli di pengelola Batu Tapak.

Ketika pas waktunya, kami makan. Makan di alam bebas. Penuh damai. Semuanya mengambil posisi teratur. Ada yang dalam tenda, di luar, dan ada pula yang di bale-bale. Seperti model makan di kampung kuno. Semua mengambil dari satu tempat nasi. Menu makannya enak. Ayam goreng plus. Menu yang tak boleh lupa adalah sambal. Sebab, suhu dingin mesti dihadapi dengan kepanasan. Sehingga jadinya seimbang. Lumayan, netral di kehangatan.

Selesai makan, kami berpencar. Ada yang bercerita sambil berkeliling di dekitar kawasan Batu Tapak. Ada yang duduk di bale sambil main catur. Rekreasi untuk menghilangkan kepenatan selama di Jakarta. Namun, tampaknya bermain catur menambah kerut dahi karena selalu berpikir. Beda dengan mereka yang jalan-jalan, menikmati alam. Atau juga yang pergi berdua sambil bercerita. Ini kesempatan untuk face to face. Selain itu, ada pula yang tidak bisa menyembunyikan rasa kenyang. Masuk jalan pintas, baring di tenda dan di bawah pohon. Cuaca mendung, pertanda mau hujan,  namun hujan tidak turun juga. Jadilah kami tidur pulas di tenda besar dan kecil, di bale-bale dan di bawah pohon.

Sorenya, kami berolahraga. Permainan futsal menjadi pilihan. Lapangan miring tak menyurutkan niat untuk mengolah si kulit bundar. Harus hati-hati menendang bola. Beberapa teman mengistilahkan dengan bahasa “menendang dengan perasaan”. Kalau tidak, bola akan keluar dan masuk jurang. Bola hanya ada satu. Kalau hilang apa boleh buat permainan berhenti. Semua pemain menaati aturan main. Jangan heran kalau permainan ini bertahan selama sekitar 3 jam. Maklum, terasa tidak capek. Keringat jarang. Agar bias keringat, harus lari berkali-kali.

Malamnya, kami berkumpul bersama memanjatkan puji-syukur kepada Tuhan. Kata sang Guru, “di mana dua atau tiga orang berkumpul dan memuliakan nama-Ku, di situ Aku ada.” Kami yang berkumpul banyak maka kami yakin Yesus ada di tengah kami. Ke mana pun kita pergi Tuhan selalu hadir dan mengingatkan kita untuk memuliakan-Nya dalam aktivitas kita.

Suasana di tempat ini pun mendukung kami untuk begadang. Terutama beberapa teman yang hobi begagadang. Di Jakarta agak sulit karena sibuk. Orang mengurung diri di kamar dan sibuk dengan pekerjaanya. Di sini tidak ada batas. Semuanya tidur di tenda yang sama. Celakanya, kegiatan mereka ini mengganggu yang lain yang mau tidur lebih awal. Dalam kebersamaan memang suka-duka ditanggung bersama. Beginilah kegiatan camping hari pertama di Batu Tapak.(Bersambung...)

Cempaka Putih 2 Juli 2011
Gordi Afri

Diberdayakan oleh Blogger.