Halloween party ideas 2015

keuskupanbogor.org
Indonesia sebagai bangsa yang dijajah oleh beberapa negara sebetulnya beruntung. Penjajahan tidak selamanya membawa kerugian besar. Dari bangsa Belanda misalnya, Indonesia mempunyai beberapa gedung bersejarah. Sebut saja Istana Negara (1796) dan beberapa gedung lainnya di kompleks yang sama. Bahkan istana Bogor (±1745) pun merupakan salah satu peninggalan Belanda. Beberapa gedung di stasiun kereta api, misalnya Stasiun Beos di kota tua (1870), juga merupakan peninggalan Belanda. Stasiun dibangun oleh arsitek Belanda kelahiran Tulung Agung Ir. Franz Johan Lowrens Ghijsel dkk (http://wisatamelayu.com/id/object.php?a=Z0pOL3N1Vi9P=&nav=geo). 

Jika dirawat dengan baik, gedung ini menjadi daya tarik wisatawan. Orang zaman ini tertarik melihat bangunan tua. Gedung tua tidak selamanya ketinggalan zaman. Justru karena tua, gedung model itu menjadi langka. Dan karena langka, orang memburu. Orang datang untuk melihatnya dari dekat.

Dok. pribadi
Saya dan beberapa teman beruntung bisa melihat salah satu gedung peninggalan Belanda di Bogor beberapa waktu lalu. Gedung itu adalah gedung Gereja Santa Perawan Maria, Katedral Bogor yang dibangun pada 1896. Gedung yang terletak di Jalan Kapten Muslihat nomor 22 dan berseberangan dengan gedung DPRD Bogor ini cukup unik. Modelnya unik dibanding gedung bercorak Indonesia. Gedng ini mirip gedung-gedung gereja tua di Eropa. Dan, memang gedung ini dibangun oleh orang Eropa berbangsa Belanda. Sebetulnya ada beberapa gedung lain lagi yang bercorak Eropa. Gedung di kompleks SMA Re-cis Bogor misalnya. Gedung itu sekarang dijadikan tempat ibadat. Bisa jadi dulu, orang Belanda menggunakannya sebagai tempat ibadat. Ini ditandai dengan model atap yang ada salibnya.

keuskupanbogor.org
Di Jakarta, gedung-gedung tua semacam ini ada banyak. Di Solo ada Stasiun Balapan (1873). Dua kota ini pernah menjadi pusat kegiatan orang Belanda. Mereka rupanya tak segan-segan mendirikan gedung mewah. Sampai sekarang, gedung-gedung tua itu masih kokoh. Tentu saja, akan lebih kokoh lagi jika bangsa Indonesia merawatnya dengan baik. Bahkan kalau dikelola dengan baik, gedung ini menjadi pusat perhatian banyak orang dari dalam dan luar negeri. Mari merawat gedung tua. Yang tua jangan disepelekan.

Jakarta, 27 Oktober 2011
Gordi Afri 

Lubang buaya, 
gambar dr google
Legenda tentang nama Lubang Buaya berkembang dari mulut ke mulut. Di internet pun ada banyak versi. Namun, kiranya ada satu versi utama.

Dari versi itu berkembang legenda yang lain. Intinya masih sama dengan itu. Bisa jadi juga mungkin ada banyak versi lisan. Versi lisan ini belum dituliskan sehingga belum banyak yang tahu. Untuk melihat berbagai corak legenda tentang nama ini, pembaca bisa melihat di google. Saya mendapatkan beberapa alamat berikut: http://images.thejakartapost.com, http://www.kaskus.us, http://centerpoint.co.id,
Di bawah ini, saya mengisahkan kembali legenda itu dengan mengacu pada 3 sumber ini.

Konon, ada seorang bapak bernama Datuk Banjir. Suatu ketika, saat hujan deras, Datuk menutup kepalanya dengan kain sarung. Dia dan kedua temannya naik di getek. Getek menurut KBBI adalah rakit. Rakit itu adalah kendaraan apung dibuat dari beberapa buluh (kayu) yg diikat berjajar dipakai untuk mengangkut barang atau orang di air. Bisa jadi saat itu, malam hari. Sebab, suasananya gelap. Atau juga sore hari menjelang malam. Datuk membiarkan geteknya berjalan sesuai arus air hujan. Arahnya bisa jadi tidak terkontrol. Sebab, arus air tidak berarturan. Tetapi yang pasti adalah arus air bergerak sesuai aliran air, dari tempat tinggi ke rendah.

Rakit/getek: google images
Datuk dan kedua temannya kaget. Geteknya tiba-tiba berhenti. Biasanya kalau perahu berhenti di tengah air laut, itu pertanda ada penghalang. Entah ikan, atau penghalang lain. Nah, kalau getek ini berhenti berarti ada penghalang. Anehnya, penghalang ini tidak ditemukan. Datuk mengambil galah dan membenamkan ke dasar air sehingga ia bisa menopang dan menggerakkan geteknya . Sekadar catatan tentang arti kata galah yakni tongkat yg panjang (dari bambu atau kayu dsb untuk menjolok buah-buahan, menolak perahu, menjemur pakaian, dsb. Dasar air tidak tersentuh sehingga Datuk tidak bisa menggerakkan geteknya. Kalau tidak ada penghalang mengapa getek berhenti?

Datuk mengira di sana ada lubang tempat persembunyian buaya. Menurut legenda itu, perkiraan Datuk benar. Dia mengecek ke sana dan terdapat sebuah lubang. Datuk memberi nama lubang itu Lubang Buaya. Padahal Datuk belum menemukan buaya di sekitar lubang itu. Apakah buaya bertahan dalam lubang ketika lubangnya tergenang air?

Legenda yang berkembang dari mulut ke mulut ini berkembang lagi. Ada seorang pria dari Cirebon. Pria yang dipangil H. Yusuf ini mengklaim dirinya sebagai keturunan Datuk Banjir. H. Yusuf bisa jadi menceritakan legenda ini kepada penduduk sekitar lubang buaya. Dan, mereka percaya bahwa dia ini benar keturunan Datuk Banjir.

Mereka yang percaya ini datang ke sumur ini menjelang musim hujan. Menurut perkiraan waktu itu hujan datang bulan Oktober. Mereka menyelenggarakan ruwatan untuk meminta keselamatan dari ancaman banjir. Permintaan ini berkembang bukan hanya soal keselamatan dari banjir. Mereka juga meminta rezeki dan jodoh untuk anak gadis mereka. Permintaan ini disampaiakan kepada Datuk Banjir yang diyakini sebagai penguasa tempat itu. Maka, nama Datuk Banjir  pun mereka hafal.

Legenda ini tanpa dilengkapi tahun. Agak sulit mengira situasinya saat itu. Bisa jadi legenda ini merupakan hasil imajinasi dan bukan sungguhan. Namun, agak sulit juga menilai demikian ketika ada keterangan dari H. Yusuf dari Cirebon. Seolah-olah kisah ini pernah terjadi. Perlu diadakan penelitian atau wawancara kepada masyarakat sekitar tentang tradisi ruwatan. Kalau mereka masih membuatnya berarti bisa jadi kisah ini sungguhan. Apalagi dalam legenda dikatakan ada masyarakat sekitar yang percaya.

Dalam sebuah buku ada cerita tentang nama Lubang Buaya. Dalam buku yang berjudul The Jakarta Explorer itu dikisahkan bahwa lubang buaya merupakan sebuah desa terpencil di Jakarta Timur. Desa ini dikelilingi perkebunan karet produktif. Menurut buku yang disusun dari penelitian oleh kelompok-kelompok Explorer Society (Masyarakat Penjelajah) dan diterbitkan oleh Indonesian Heritage Society, 2001 ini, nama Lubang Buaya berasal dari legenda yang mengatakan ada sebuah buaya putih di sungai terdekat. Apakah legenda ini berkaitan dengan legenda yang diceritakan tadi?

Kalau ada pembaca yang mempunyai sumber lain silakan menyumbang demi memperkaya pengetahuan tentang hal ini. Terima kasih

Cempaka Putih, 11 Oktober 2011
Gordi Afri
Diberdayakan oleh Blogger.