Halloween party ideas 2015

Bertemu Keluarga di Ujung Pandang

bandara Makasar, foto oleh turkishraf
Keluarga menjadi salah satu ketertarikan saya berkunjung ke Makasar. Karena keluarga ini saya mengiyakan tawaran ke sana. meski tertunda hingga 3 kali, saya tetap menerima tawaran ini. Lagi-lagi karena keluarga. 

Keluarga saya di sana ada beberapa. Adik saya yang sedang kuliah. Adik dari bapak juga tinggal dan bekerja di Makasar. Juga beberapa keluarga dari garis keturunan ibu/mama saya tinggal dan menetap di Makasar. Juga keluarga lain yang tak sempat disebutkan namanya satu per satu. Tak heran jika mereka di sana berkumpul untuk bertemu saya dalam kunjungan ini.

Dari hari pertama, ada paman dan keluarga dari garis keturunan ibu. Juga saudara sepupu. Mereka berkumpul karena semangat kekeluargaan. Karena keluarga, mereka datang dari berbagai penjuru. Memang mereka tinggal tersebar di kota Ujung Pandangan ini. Karena keluarga mereka datang bersatu, berkumpul, bertemu, sekadar menyapa selamat datang untuk saya.

Juga pada hari keempat di mana saya kembali dari seminari dan menginap di rumah bapa kecil. Beberapa keluarga baru datang. Bahkan ada yang datang malam hari. Gara-gara saya mereka dipersatukan. Saya dipandang sebagai tokoh pemersatu. Dan memang di tanah rantau saudara jauh jadi dekat, keluarga jauh jadi dekat, kenalan jauh jadi dekat. Semuanya jadi dekat. Seperti Yogya dan Makasar yang jauh jadi dekat, yang beda pulau kini melebur jadi satau, gara-gara saya.

Saya terharu dan bangga punya keluarga seperti ini. Saya sadar ikatan kekeluargaan mereka di sana begitu kuat. Saking kuatnya tidak ada jarak lagi antara mereka. Asal mereka tahu ada keluarga atau orang baru dari kampung yang datang, mereka tak segan-segan datang bertemu dan menyapa. Inilah indahnya semangat kekeluargaan di sana.

Saya puas bisa bertemu adik saya. dia kuliah di sana dan akan selesai. Saya ingat, dia dan aku dulu sering beda pendapat. Bahkan kami pernah bertengkar. Tetapi karena kami saling sayang kami berdamai. Dan di Makasar kami rindu suasana kekeluargaan di rumah. Itulah sebabnya saya senang bertemu dengannya. Saya dan dia bisa akrab kembali. Rasa senang muncul karena bertemu kembali setelah beberapa tahun belakangan tidak bertemu.

Demikian juga dengan keluarga mama yang sebelumnya tidak pernah bertemu. Saya datang ke Makasar dan bertemu mereka. Mereka kenal mama tetapi saya tidak. Mereka tahu saya anaknya mama. Anak mereka juga. Jadilah kami berbagi cerita sebentar sebelum masuk dalam relasi lebih dalam. Relasi yang benar-benar sadar bahwa kami berkeluarga. Mama saya bersaudari dengan keluarga ini. Dan inilah indahnya kekeluargaan. (bersambung)

PA, 2/5/13


Tibalah Saatnya Aku Terbang

foto oleh Isnan Wijarno
Terbang ke Makasar cukup jauh. Jauhnya membuat saya takut. Maklum, belum pernah naik pesawat dalam jarak jauh. Paling-paling hanya 1 jam, dari Denpasar ke Labuan Bajo pada 2010 yang lalu. Yang ini lebih jauh. 

Takut karena jauh ini membuat saya membayangkan jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun silam. Saat itu, pesawat Adam terbang dari Surabaya ke Makasar. Dan, sebelum tiba di Makasar, pesawat jatuh. Banyak korban meninggal dunia.

Saya ingat peristiwa itu dan merasa takut. Takut mengalami hal serupa. Saya takut tetapi saya berharap saya tidak seperti itu. Saya tidak mengalami itu. Saya ingin agar pesawat kami tiba di Makasar dengan selamat.

Pukul 4.45, saya diantar oleh sahabat saya ke Bandara Internasional Adisucipto, Yogyakarta. Pagi-pagi sekali. Sebab, pesawat Express Air akan berangkat pukul 6 pagi dari Yogyakarta. Yogyakarta masih dingin di pagi ini. Bahkan, petugas portal di depan rumah kami pun tidak membuka portalnya. Gemboknya dibuka tetapi portalnya dibiarkan tertutup. Mungkin dia punya maksud tertentu. Pagi itu memang dingin dan banyak orang yang tidak mau bepergian dalam suasana dingin. Tetapi, tidak demikian dengan para penjual di pasar di depan rumah kami. Mereka sudah datang di pasar. Menggelar dagangannya.

Saya check-in di tempat CI Express Air. Diterima oleh petugas CI. Dua cewek dan 1 cowok. Saya menunjukkan tiket booking beserta KTP. Diterima dan keluarlah bukti CI. Saya menuju ruang tunggu. Saya membayar terlebih dulu biaya untuk asuransi. Biayanya Rp. 30.000. Lalu, saya masuk ruang pemeriksaan untuk kedua kalinya. Di ruang pemeriksaan pertama di pintu masuk bandara, saya diperiksa. Dan, lolos. Tidak ada kendala yang memberatkan. Di ruang pemeriksaan kedua ini juga lancar. Tas besar dan tas kecil dimasukkan dalam ruang pemeriksaan. Dan, keluar dengan bersih tanpa ada pemeriksaan lebih lanjut.

Sekujur tubuh saya yang diintai sinar khusus pun tidak masalah. Saya lewat pintu pemeriksaan tanpa ada kecurigaan. Memang saya tidak membawa benda yang mencurigakan dan merugikan seperti narkoba.

Di ruang tunggu, saya duduk selama lebih kurang 45 menit. Kemudian, kami menuju pesawat Express Air. Ketika tiba waktunya kami bertolak ke Bandara Internasioanl Juanda Surabaya. Perjalanan ke sana ditempuh selama 1 jam 10 menit.

Di sana kami berhenti sebentar. Kami yang menuju Makasar tidak diperkenankan turun dari pesawat. Kami tetap di dalam pesawat. Penumpang lain naik di sini yang menuju Makasar dan beberapa kota di Maluku dan Papua. Setelahnya kami etrbang menuju Makasar.

Perjalanan ini juga ditempuh hampir 1 jam. Dalam perjalanan ini, kru pesawat membagikan makanan. Kami menikmati 1 roti, 1 kue, dan 1 aqua gelas. Asyik juga menikmati semua ini di atas pesawat. Sambil menikmati pemandangan di bawah, di darat dan laut. Indah.

Tiba di Makasar sekitar pukul 10 WITA. Saya dijemput oleh saudara sepupu saya. naik motor selama lebih kurang 1,5 jam. Jalanan lancar tetapi berlubang. Pantat sampai sakit duduk di atas motor. Juga debu karena jalan ini dilalui oleh truk. Setelah semuanya lewat, kami tiba di rumah bapa kecil saya.

Sore hari kami berangkat menuju Seminari Petrus Claver, Mariso, Makasar. Di sini saya akan mengadakan tes untuk seorang siswa seminari. Saya menginap di sini selama 2 malam. Perjalanan hari ini sungguh menarik. (bersambung)

PA, 2/5/13

Hampir Kecewa karena Ditunda

tidak kehilangan harapan, foto oleh Carli Nicole
Impian ini mesti diwujudkan. Apa pun risikonya dan bagaimana saja caranya, harus diwujudkan. Perwujudannya mesti segera atau dalam waktu dekat.

Saya setia menunggu tanggal yang ditentukan. Saking setianya, saya mulai menghitung-hitung hari yang ditentukan. Saya diberitahu akan ke Makasar pada Rabu, 14 Maret 2013. Sahabat saya mencari waktu yang pas. Dia memutuskan keberangkatan pada Senin, 28 Maret. Ada jeda sekitar 2 minggu.

Saya senang bukan main. Dua minggu berharap dengan pasti. Saya pasti akan melihat Makasar. Demikian angan-angan yang muncul dalam waktu-waktu itu. Seperti apakah Makasar itu nantinya? Saya mulai menghubungi keluarga dan sahabat tentang informasi dan rencana ini. Mereka juga senang dan siap menerima. Kami sudah merencakan acara yang akan dibuat di sana.

Saya tentu tidak bisa memastikan segera. Sebab, saya ke sana hanya untuk memberi tes pada seorang anak SMA yang mau masuk Xaverian. Itu tujuan utama. Tujuan sampingan tentu saja bertemu adik saya dan keluarga lainnya.

Rangkaian acara ini rupanya membuat saya buyar dan kecewa. Sudah direncanakan tapi ternyata rencana-Nya lain. Dia membuat saya menunda mewujudkan rencana ini.

Sahabat saya mengatakan, sekolah di sana mau libur. Kebetulan dekat pesta Paskah. Para siswa diliburkan. Otomatis saya menunda. Hanya saja penundaan ini menambah rasa kecewa saya ketika tidak ada penjelasan pasti tentang lamanya penundaan ini. Semuanya belum pasti.

Saya menyiapkan jawaban diplomatis agar keluarga saya tidak kecewa. Dalam situasi kecewa ini rupanya saya dikuatkan oleh-Nya agar tidak mengecewakan keluarga saya. Saya mengajukan alasan yang melegakan. “Mereka sedang libur. Tidak bisa adakan tes. Kalau mereka masuk baru saya akan ke sana.”

Demikian penjelasan saya pada mereka. Mereka memaklumi. Ada yang mengiyakan ada pula yang tidak menjawab. Entah mereka ini telanjur kecewa atau apa. Yang jelas itulah yang saya dapat.

Saya tetap memberi harapan, saya akan ke sana dalam waktu dekat. Haraan inilah yang membangun semangat untuk bertemu, melepas rindu. Tapi, untuk sementara rindu ini terpendam saja. Belum tahu, sampai kapan saya memendam rindu. (bersambung).

PA, 2/5/13

Impian ke Kota Sultan Hasanudin

Patung Hassanudin, foto oleh Blue__gombel
Sudah lama saya bermimpi melihat Makasar. Mimpi itu muncul ketika mendengar cerita sahabat dan adik-adik saya. Banyak sahabat dan keluarga saya di sana.

Sejak SMA saya sudah mendengar kisah mereka. Paman saya menyelesaikan SMA-nya di sana. Dia berkisah tentang Makasar yang waktu itu bernama Ujung Pandang. Dialah yang menginspirasi saya untuk melihat dari dekat kota di Sulawesi Selatan ini.

Dari dia juga saya sempat melihat-lihat surat yang ia kirim dari Makasar. Surat itu sebagiannya berisi cerita tentang kehidupannya di kota ini. Menarik membacanya. Memunculkan tekad untuk menuju kota ini.

Seorang sahabat juga berkisah menarik. Menurutnya, Makasar itu jadi tempat cari uang. Dia bekerja di sana dan bisa membiayai sekolahnya. Dia pejuang yang hebat. Sekolah dengan biaya sendiri.

Ketika saya di Jakarta, saya mendengar kisah dua adik saya yang kuliah di Makasar. Keduanya mengatakan Makasar itu asyik. Mungkin karena mereka bisa hidup tenang di sana. Betapa tidak, mereka juga dekat dengan keluarga di sana.

Saya rindu bertemu mereka di sana. Lebih-lebih rindu bertemu adik dari bapak yang hanya bertemu waktu kami kecil. Juga dengan keponakan bapak yang juga bertemu sewaktu saya dan kakak saya masih kecil.

Saya tahu Makasar itu kota demo. Setiap bulan ada demo dari kelompok mahasiswa. Ini yang membuat citra kota ini jadi buruk. Bahkan di Jakarta, mahasiswa yang datang dari sana akan diseleksi dengan ketat di tempat kerja. Demikian rumor yang saya dengar. Padahal ada mahasiswa yang tidak jadi dalang demo di sana. Sayang karena isu demo ini ibarat kentut, baunya dicium banyak orang. Gaung demo sebagai tindakan anarkistis terdengar sampai ibu kota dan biangnya dipikul oleh semua mahasiswa yang berbau Makasar.

Beberapa ketertarikan inilah yang membuat saya langsung meng-YA-kan tawaran ke sana. Saya pergi sebagai pengganti. Kebetulan petugas sebenarnya berhalangan. Saya pun menerima dengan senang hati. Seperti apakah perjalanan ke sana nantinya? (bersambung di sini)

PA, 2/5/13
Gordi

Tulisan Berikutnya di Sini



Bersama Ramayana ke Yogyakarta

foto oleh ANGEL Proteus
Saya memang memilih kelas supereksekutif semata-mata demi kenyamanan. Dan memang, malam ini betul-betul nyaman. 

Saya bisa istirahat tenang. Apalagi sebelumnya saya minum obat untuk tidur. Obat ini saya bawa dari Siberut. Di sana saya minum sebelum naik kapal ke Padang. Betapa obat ini mijarab untuk menghilangkan mabuk kapal kecil itu. Obat mujarab itu kini saya gunakan selama naik bis ini.

Saya juga bisa istirahat karena pada awal perjalanan, kru bis membagikan snack, makanan ringan berupa roti, kacang, dan minuman. Saya segera menghabiskan semuanya sebelum tidur. Makanan ini mengisi lambung dan membuat lambung saja aman, tidak mengganggu perjalanan ini.

Saya bangun menjelang perhentian untuk makan malam. Saat makan malam, saya mengambil porsi yang pas-pasan saja. Kebetulan menunya kurang enak. Tidak ada daging. Hanya ada ikan. Kalau Safari Dharma Raya ada dagingnya. Mungkin kami dapat porsi ikan untuk kali ini. Atau juga untuk bis Ramayana memang hanya tersedia porsi ikan.

Tentu kami hanya menunjukkan tiket yang ada kupon makan kepada petugas rumah makan. Dengan itu, kami mengambil makanan. Tak perlu membayar. Tetapi ya menunya tidak bisa dipilih-pilih karena semuanya sudah tersedia. Yang disediakan itulah yang kami nikmati.

Setelah makan, kami jalan lagi. Dari sini saya tidur hingga turun di Yogyakarta esok paginya. Pagi-pagi sekali kami tiba di terminal Jombor. Pukul 4.30 pagi. Saya berhenti sebentar di terminal kemudian mengambil ojek ke rumah. Saya tiba kembali di rumah kami di Yogyakarta pukul 5 pagi. Woao....perjalanan ini sudah selesai. Saya telah kembali dari Siberut.

Terima kasih Tuhan untuk perlindungan-Mu selama perjalanan ini. Dua minggu saya keluar dari rumah ini. Saya tiba kembali karena berkat-Mu. Sekali lagi terima kasih Tuhan. (habis)

Yogyakarta, 21 Mei 2013
Gordi


Sebelumnya:



















Hirup Udara Jakarta selama Lima Hari

Foto ilustrasi oleh Antonius Anton
Saya tinggal di Jakarta selama 5 hari. Bukan saja tinggal sementara tetapi punya urusan penting. Saya harus membereskan surat-surat kewargaan. Kartu keluarga sebagai warga Cempaka Putih dan juga KTP elektronik. 

Meski sudah 5 hari, KTP elektronik belum bisa diproses. Hanya Kartu Keluarga yang ada. Saya tidak mungkin tinggal lama-lama di sini. Jakarta bukan tempat tugasku meski saya juga pernah hidup di sini selama 6 tahun.

Daripada sekadar tinggal, saya juga membuat beberapa kegiatan. Membantu teman-teman, membaca buku kesukaan saya, berkunjung ke toko buku, menulis di blog, dan berjumpa teman. Semua ini saya lakukan semata-mata karena sudah direncanakan. Saya membuat janji bertemu. Saya merencanakan untuk mengunjungi toko buku. Saya juga merencanakan untuk menulis dan membaca.

Karena rencana, saya bertemu teman saya di Monas. Rencana kami terwujud kala sore hari duduk di Monas sambil menikmati musik Kithana. Kithana tampil untuk menghibur penonton di Monas. Band ini hadir karena ada acara ulang tahun salah satu BUMN di negeri ini. Suasana ramai dirasakan oleh semua pengunjung Monas sore ini.

Kami bukan saja menikmati tontonan dan hiburan gratis ini. Kami juga sempat berbincang-bincang. Membicarakan soal pendidikan. Dia mengambil program master dan sekarang tinggal menyusun tesis.

Teman saya ini memang punya minat besar dalam pendidikan. Selain kuliah ia juga mengajar di salah satu sekolah elit di kawasan Selatan Jakarta. Dua kali seminggu dia ke sana. selain itu, di rumahnya, ada pendidikan anak usia dini, PAUD. Dia juga terlibat di sini. Baginya, PAUD ini punya peranan penting. “Aku ingin agar anak-anak mendapat pendidikan yang layak sejak mereka kecil,” katanya di sela-sela perbincangan sore itu.

Jumlah muridnya bertambah dari tahun ke tahun. Awalnya kurang dari 10 orang. Sekarang bertambah sampai 20-an orang untuk tahun ini. Rencananya tahun depan akan bertambah. Maju terus teman. Wujudkan cita-citamu.

Setelah menikmati udara Jakarta ini, saya kembali ke Yogyakarta. Senin, 20 Mei, saya diantar oleh teman saya ke terminal Rawamangun. Dari sana saya akan ke Yogyakarta bersama bis Ramayana. Bis yang bermarkas di Muntilan, Jawa Tengah. Bis ini masih baru. Pelayanannya oke. Hampir sama dengan pelayanan bis Safari Dharma Raya. Pukul 4.30, kami keluar dari terminal. Seperti apakah perjalanan dengan bis Ramayana ini? (bersambung)

Jakarta, 20/5/13
Gordi


Sebelumnya:
















Diberdayakan oleh Blogger.