Halloween party ideas 2015

Berjuang Mencari Lubang Kecil dalam Kursi Pesawat

seperti inilah model kursinya, tapi ini bukan
kursi pesawat Turki Airlines, foto dari internet
Memang benar, pesawat ini besarnya luar dalam. Di dalamnya ada 2 lorong. Kiri dan kanan. Kami masuk dari pintu depan. Menghadap ke belakang, ekor pesawat. Dan kami masuk lorong bagian kanan. Kemudian duduk di 2 kursi sebelah kanan lorong. Fonsi di dekat jendela (35A) dan saya di dekat lorong (35B). Di tengah, antara lorong kiri dan kanan, terdapat banyak tempat duduk. Di situ ada 4 kursi untuk setiap barisnya. Dua dekat dengan lorong bagian kiri dan dua dekat dengan lorong bagian kanan. Jadi, satu baris terdapat 8 kursi. Saya lupa jumlah barisnya. Jika 12 berarti, di sini terdapat 96 kursi. Dan ini baru satu bagian yang dinamakan group. Kami duduk di group A. Pesawat ini dibagi lagi dalam beberapa bagian group di dalamnya. Saya juga tidak tahu persisnya. Setiap bagian di batasi oleh satu tempat yang menyimpan layar TV untuk informasi perjalanan dan informasi lainnya. Di bawahnya ada ruang untuk WC dan penyimpanan perlengkapan pesawat atau perlengkapan kru pesawat. 

Di kursi penumpang ada meja lipat. Meja dibuka saat ada makanan atau minuman. Pada waktu tertentu, awak pesawat, kru paramugari akan membagikan makanan. Dan saat itulah meja ini dibuka. Setelahnya segera dilipat kembali. Lipatannya menempel di sandaran kursi. Misalnya, meja yang saya gunakan tertempel di sandaran kursi penumpang di depan saya. Sedangkan lipatan meja yang ada di sandaran kursi saya akan digunakan oleh penumpang di belakang saya.

Selain meja di sandaran kursi itu juga ada layar/monitor komputer. Letaknya di atas lipatan meja. Setara dengan letak mata jika penumpang duduk tegak. Layar ini akan menyala, memancarkan tayangan film, atau daftar lagu, dan juga informasi dari kru pesawat. Kalau dalam Lion Air ada kru pragumari yang mengumumkan dan memraktikkan cara pemakaian alat keselamatan dalam pesawat, di dalam pesawat ini, tidak ada. Pengumuman itu akan disalurkan melalui layar TV itu. Juga melalui TV besar yang terdapat di bagian depan setiap lorong. Dari situ ada suara. Jika mau mendengarkan lewat layar kecil itu juga bisa. Dan layar itu akan menayangkan informasi dari kru pesawat setiap kali ada informasi. Saat itu, film atau lagu dengan sendirinya akan berhenti sebentar saat pengumuman itu ditayangkan.

Nah, saya dan Fonsi pada awalnya sulit menemukan posisi lubang jack untuk headset, alat pendengar di telinga. Kami sudah melihat headset itu di kursi. Disimpan bersama perlengkapan lainnya seperti kaus kaki, sikat gigi, penutup mata, dan sebagainya. Selimut disimpan di atas kursi, bersama bantal kecil, saat kami masuk. Saya meraba-raba lubang di tempat sandaran tangan di sebelah kanan dan kiri kursi. Dan Fonsi juga demikian. Rupanya Fonsi menemukan lubang itu. Dan dia masukan ujung headsetnya. Berhasil. Dia dengar bunyi dari layar TV. Hanya saja bunyi itu tidak sesuai dengan tayangan yang ada di monitornya. Dia mendengar lagu. Padahal dia sedang menonton film.

Rupanya lubang itu untuk layar TV saya. Lubang headset rupanya terdapat di sandaran tangan bagian kiri kursi. Saya masukkan lubang headset saya. Berhasil. Saya dengar bunyi. Fonsi juga demikian. Kami senang bias memecahkan masalah ini.

Selanjutnya, tangan kami bergerak, mencari pilihan menu dalam monitor itu. Ada menu untuk lagu. Di dalamnya ada file lagu-lagu dari berbagai Negara beserta nama penyanyinya. Tidak semua negara tetapi paling tidak ada nama-nama penyanyi populer seperti Michael Jackson, Bryan Adams, dan sebagainya. Ada juga menu untuk games. Menu film. Menu informasi penerbangan. Dan beberapa menu lainnya.

Saya memilih menu musik. Saya denganr beberapa lagu berbahasa Inggris dan juga lagu-lagu Jepang. Sambil dengar itu, saya tidak lupa mengecek informasi posisi pesawat. Di situ ditampilkan posisi pesawat, waktu di tempat tujuan dan waktu di tempat keberangkatan. Juga, durasi waktu perjalanan sampai di tempat tujuan.

Ngomong-ngomong tas kami di mana ya? Bagasi ada di atas tempat duduk. Sama seperti di pesawat pada umumnya. Bagasi kami ada di atas kami. Bagasi untuk penumpang yang duduk di tengah juga ada di atas tempat duduk mereka. Untuk mereka, bagasinya di bagi dua. Sebagiannya dekat lorong kanan dan lainnya dekat lorong kiri. (bersambung)

Parma, 26 September 2013

Gordi

Hati Berdebar di Ruang Tunggu

Setelah pemeriksaan yang menyebalkan itu (ikat pinggang, sepatu, jacket dilepas), kami masuk ruang tunggu. Di sinilah hati kami berdebar. Saya memandang Fonsi dan Fonsi memandang saya. Saling pandang. Kami sedang membayangkan dan memikirkan perjalanan panjang ini.

Belum pernah kami berjalan sejauh ini. Belum pernah kami keluar dari negeri sendiri. Bagaimana jika kami tersesat. Apa yang kami buat jika tersesat. Apa yang kami lakukan jika kami tidak diizinkan ke tujuan berikutnya. Bagaimana kami harus keluar-masuk pintu dan pos yang banyak di tempat transist berikutnya. Apa yang kami lakukan jika kami tidak dijemput. Kami ingin cepat sampai tempat tujuan. Kami ingin terbang dengan selamat. Kami ingin pergi dan tiba di tujuan dengan selamat. Dan sebagainya. Inilah berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam diri kami. Otak kami sedang memikirkan itu.

Ruang tunggu menjadi saksi pergumulan pikiran kami. Memang antara kami mungkin punya pertanyaan yang sama. Tetapi kami juga tidak tahu. Toh, kami hanya menduga. Sebab, tidak banyak kata dan kalimat yang keluar. Saat itulah saya mendaraskan doa dalam hati agar perjalanan ini selamat. Kami tidak tersesat di jalan. Atau kalau tersesat kami lekas kembali ke jalan yang benar.

Sambil bergumul, saya memerhatikan banyak orang yang duduk dan berdiri sembari berlalu lalang di samping saya. Ada yang duduk sendiri, berkelompok. Ada yang diam, entah dia juga sedang bergumul seperti kami. Ada yang tampaknya sedang senang. Ada juga yang tampak sedang sedih hati. Entah dia memikirkan mereka yang dia tinggalkan. Ada juga yang sedang tersenyum dan tertawa sambil bercerita melalui hp-nya. Ya, dengan teknologi, dia bisa melihat orang di seberangnya, mendengar suaranya. Itulah majunya teknologi yang bisa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Dia merasa dekat dengan orang yang menjadi teman teleponannya tetapi menjadi jauh dengan orang di sampingnya.

Memang tidak jarang dalam situasi seperti ini segalanya boleh jadi menjadi tidak normal. Yang sebelumnya suka curhat jadi diam, suka berkelakar jadi diam. Ini gara-gara perjalanan yang sedang dihadapi.

Dalam debaran hati ini, kami berharap akan tiba dengan selamat sampai tujuan. Dan kami mendengar pengumuman dari pengeras suara. Pesawat Turki Airlines akan segera berangkat. Penumpang dan seluruh kru pesawat dipersilakan masuk pesawat. Kami pun masuk pesawat dan mengambil tempat duduk yang tertera di dalam tiket.

Ngomong-ngomong pesawatnya besar. Typenya Airbus dengan seri A330. Saya lihat dari ruang tunggu. Mengagumkan. Pesawat besar begini yang membawa kami ke luar negeri. penumpang satu per satu masuk. Dan, bagaimana perjalanan selanjutnya? (bersambung)

Parma, 26 September 2013
Gordi


Nyaris Terhambat di Bandara Soekarno-Hatta

foto ilustrasi oleh Hielsa
Waktu yang ditunggu itu kini tiba. Sudah lama menunggu. Ditunggu dengan rasa senang dan mendebarkan. Senangnya karena impian terwujud. Mendebarkan karena prosesnya tidak gampang. Maunya, sudah sampai tujuan. Nyatanya, harus melewati jalan berliku.

Selasa, 27 Agustus 2013, hari bersejarah. Kali ini, saya keluar dari negeri saya, Indonesia, dan melewati beberapa negara, hingga sampai tujuan. Bahkan dari benua sendiri ke benua orang. Dari Asia ke Eropa. Ini mimpi banyak orang. Sayang mimpi ini tidak semuanya terwujud. Banyak yang mau pergi tetapi sedikit yang BISA pergi. Dan, saya beserta teman saya, Fonsi, adalah salah satu kelompok dari sekian orang yang berhasil mewujudkan impiannya.

Kami berangkat dari rumah di Cempaka Putih pukul 16.30 melewati daerah Kemayoran. Bersama kami, ada 3 saudara kami, Matteo, Heri, dan Rian. Jalannya lancar, hanya macet di gerbang tol. Sejam kemudian kami tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kami menunggu sebentar di luar bandara sambil menunggu Heri yang memarkir mobil.

Selanjutnya, saya dan Fonsi masuk. Proses pemeriksaan dari pintu masuk sampai pintu pendeteksi lancar. Tas dan koper kami tidak bermasalah. Di tempat check-ini, kami mendapat masalah. Saya tidak bermasalah. Visa saya bertipe D. sedangkan Fonsi yang visanya bertipe C, harus ada tiket pulang. Visa D untuk visa tinggal. Sedangkan visa C untuk visa singgah atau turisme, membutuhkan tiket pulang atau visa selanjutnya ke negara tujuan berikutnya. Demikian yang saya tangkap dari penjelasan petugas maskapi Turki Airlines yang kami gunakan.

Kami keluar sebentar. Kebetulan saudara-saudara kami yang baik ini belum pulang. Kami menghubungi Padre Fernando Abis, SX yang mengurus tiket kami. Dari dia kami tahu jika saat urus visa tidak diminta tiket pulang untuk Fonsi. Dan kami mempersilakan petugas ini untuk berbicara dengan padre. Lalu, kami juga mengeluarkan dokumen surat panggilan dari Kamerun, negara tujuan Fonsi. Setelah itu baru lolos.

Entahkah petugas ini mau menguji kami? Boleh jadi demikian. Selain itu ada penjelasan yang janggal. Katanya, penjelasannya adalah bagian dari peraturan imigrasi Indonesia. Aturannya, untuk orang yang berangkat dengan visa C harus ada tiket pergi-pulang, ATAU visa ke negara tujuan berikutnya. Saya jelaskan padanya, kami tidak bisa mengurus visa Kamerun karena kami baru mengurusnya di Roma. Mustahil kami urus visa itu sebab di Indonesia tidak ada kedutaan Kamerun. Tetapi dia tetap ngotot.

Setelah dokumen itu dia cek, kami diperbolehkan untuk check-in. Kemudian kami masuk bagian imigrasi lalu ke ruang tunggu. Di sini kami menunggu sekitar 45 menit karena ada kesalahan teknis dari maskapi. Jadwal keberangkatan diundur 30 menit.

Ada pengalaman menarik saat masuk pintu pemeriksaan ke ruang tunggu. Di sini bukan saja tas-bagasi dan tas saku lainnya yang dimasukan ke detektor tetapi ikat pinggang, dompet, jeket, dan sepatu juga dilepas. Wah ini baru bagi saya. Tetapi saya sudah mendengar sebelumnya. Repot yahhhh harus melepaskan ikat pinggang dan sepatu. Sampai di sini saja dulu yah…..  (bersambung)

Parma, 26 September 2013

Gordi

Urus Visa Lancar-Lancar Saja

foto ilustrasi oleh Brit Bloke
Urus Visa beda dengan urus pasport. Kalau urus pasport antrinya lama, urus Visa tidak. Hasilnya juga tidak lama seperti pasport. Visa keluar dalam 3 hari. Ini pengalaman saya dan teman saya yang mengurus visa pada 20-24 Agustus 2013. Tidak tahu kalau ada yang merasa lebih lama dari ini.

Visa dan pasport rupanya saling kait. Selain itu, tiket perjalanan dan surat keterangan tujuan perjalanan. Pasport dierlukan sebagai salah satu syarat dalam pengurusan visa. Jadi, dokumen yang harus ada dalam pengurusan visa adalah pasport, fotokopi tiket perjalanan, pasfoto dengan ukuran tertentu, dan surat keterangan dari tempat tujuan. Tiket keberangkatan sudah diurus sebelumnya. Saya tidak mengurus sendiri tiket ini. Tiba-tiba tiket sudah ada. Demikian juga dengan surat keterangan dari tempat tujuan. Jika saya yang mengurus kedua hal ini mungkin repotnya mnta ampun. Syukurlah ada yang mengurus sehingga saya merasa tidak terlalu pusing-repot.

Saya mengurus visa bersama teman saya. Kami lengkapi dokumen terlebih dahulu. Kemudian mengisi formulir yang berisi puluhan pertanyaan. Pertanyaan itu terkait dengan identitas kami dan tujuan keberangkatan. Kertas yang berisi daftar pertanyaan ini bisa didapat di website kedutaan Negara tujuan. Kami dapat ini juga seperti ini. Memang bukan kami yang mengambil dari web. Sebab, sebelumnya ada teman yang mengurus. Jadi, kami tinggal memfotokopi kertas itu. Tetapi, bisa juga diisi langsung di internet.

Setelah data diisi, kami menuju kantor kedutaan di daerah Menteng. Di Jl Diponegoro no. 45, Menteng, Jakarta 10310 (Indonesia). Dari pintu gerbang sudah diperiksa. Petugas keamanan menanyakan tujuan kedatangan kami. Lalu, kami disinarlaserkan, diperiksa dengan tongkat pendek yang bersinar laser. Lolos. Sebab, kami tidak membawa barang berbahaya. Dan, alati tu tidak mendeteksi satu benda berbahaya pun di dalam tubuh dan tas kami.

Kami masuk melalui pintu yang juga dilengkapi alat pendeteksi. Di sini lancar juga. Kami diperbolehkan masuk. Lalu, menunggu sebentar, sebelum gerbang berikutnya dibuka. Kami harus meninggalkan kartu identitas, KTP, dan handphone. Petugas keamanan di ruang ini menelepon ke bagian dalam, ke atasan mungkin, apakah benar kami mau bertemu dengannya. Boleh jadi jawabannya, YA. Sebab, setelahnya kami dipersilakan masuk bersama petugas itu. Dia membukakan gerbang besi yang berat. Seolah-olah pencuri tidak lolos lewat gerbang ini. Saya merasa seperti “tuan” saja karena gerbang dibukakan. Kalau saya buka pasti terasa berat.

Di dalam, kami bertemu kepala kantornya. Mungkin dia pak dubes-nya. Woao…bisa langsung bertemu atasan ya. Ya, sebab kami datang dengan orang yang kenal dengannya. Kebetulan kami juga membawa oleh-oleh untuknya. Bukan dari kami. Tetapi, kami kebetulan bisa membawanya. Dia senang melihat itu dan menerima kami dengan senang hati.

Dia memeriksa dokumen kami. Lengkap. Hanya, warna foto bermasalah. Rupanya yang diminta adalah yang berwarna hitam-putih. Kami membawa yang berwarna. Lalu, kami keluar lagi untuk membuat ulang fotonya.

Nah, di sinilah kami membodohi diri kami. Saya katakan demikian karena kami lama gara-gara urusan ini. Cari tempat foto di sekitar daerah Menteng. Rupanya tidak bertemu. Padahal hampir 2 jam kami mencari. Kami memutuskan kembali ke Cempaka Putih, mencetak ulang file foto pas sebelumnya. Tinggal diganti warna latar belakang.

Setelah selesai, kami kembali ke Menteng. Beruntung, kantornya masih buka. Sebenarnya kantor sudah tutup untuk pelayanan administrasi. Tetapi, karena kami sudah ada janji sebelumnya, kami dipersilakan masuk. Kami tidak perlu sampai di dalam. Kami sampai di ruang pertama. Di situ sudah ada petugas yang menunggu. Kami bertemu dengannya dan menyerahkan foto serta dokumen yang ada. Juga pembayarannya. Dia juga memberitahukan kapan pengambilannya.

Tidak lama. Hanya 3 hari. Tiga hari kemudian, kami mengambil. Kami menunjukkan kartu pengambilan di petugas satpam. Dia memperbolehkan kami masuk. Dan, selesailah urusan visa. Tidak lama seperti pasport. Tetapi mahalnya luar biasa. Berapa kali biaya pengurusan pasport. Jika pasport hanya ratusan, visa berkisar jutaan. Demikian. (bersambung)

Parma, 26 September 2013
Gordi







Perjuangan Mendapatkan Pasport Indonesia

Dari Indonesia ke Italia. Dua negara yang berbeda. Selain beda, juga berjauhan. Oleh karena itu, tentu saja tidak gampang menjangkauinya. Perjalanan antara keduanya amat panjang. Lebih dari dua negara, keduanya berada di benua yang berbeda.

Kali ini, saya ingin menulis tentang perjalanan dari Indonesia ke Italia. Perjalanan yang membutuhkan persiapan panjang dan banyak. Panjang karena waktu persiapannya tidak singkat. Beberapa bulan, katakanlah demikian. Apakah tidak bisa disingkat? Tentu saja bisa, kalau mau lancar. Tetapi, perlu diingat, tidak gampang untuk mewujudkan keinginan. Ingin cepat tetapi nyatanya lambat.

Persiapannya juga banyak. Mulai dari siap fisik dan pikiran. Fisiknya lemah ya, gak jadi berangkat. Pikiran juga. Sebab, tidak bisa berangkat kalau orangnya tidak bisa mengikuti petunjuk yang ada. Apalagi kalau pikiran terganggu alias kayak orang gila itu (!).

Makanya, jangan kaget jika saya mulai menulis sejak persiapan dokumen sampai tiba di Italia. Kali ini saya mulai dengan periapan dokumen. Dokumen pertama adalah pasport. Tentu dokumen lain diandaikan sudah ada. Misalnya, saya pergi untuk belajar, maka dokumen pendidikan terakhir saya harus ada.

Saya mengurus pasport pada awal Juni 2013. Karena saya tinggal di Jogja—waktu itu—maka saya harus datang ke Jakarta. Teman saya yang baik hati sudah menyiapkan jalan untuk saya. Kami berangkat pagi-pagi ke daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di situ ada kantor Imigrasi. Yang ini beda dengan yang ada di daerah Kemayoran. Entah bagaimana pembagian kerjanya. Atau apa saja perbedaan dalam pelayannya. Belum jelas.

Tetapi, dari bincang-bincang di sana, saya mendengar bahwa, untuk mengurus pasport baru, pelayanannya di kantor ini. Di Kemayoran hanya untuk perpanjangan saja. Tetapi, ini pun belum jelas. Karena, ada juga yang bilang, tidak ada istilah perpanjangan pasport. Yang ada hanya mengurus baru. Beberapa teman kami yang sama-sama mengurus di sini juga, pernah mengurus sebelumnya.

Kami berangkat pagi-pagi, sekitar jam 5 pagi. Di sana ada beberapa orang yang duduk di beranda kantor. Sejam kemudian, datang petugas pengamanan dan memberikan satu kertas. Kami harus menulis nama di situ berurutan. Saya dapat jatah nomor 12. Setiap ada orang baru disuruh menulis di situ. Kemudian kami berbaris ala kadarnya. Bukan baris-berbaris seperti militer atau anggota pramuka, atau anggota upacara bendera.

Kami berbaris untuk dapat jatah nomor antri. Dan, saya dapat nomor 12 lagi. Di daftar dapat nomor ini. Kemudian, di nomor antri sama juga. Setelahnya, saya dan teman saya kembali ke Cempaka Putih untuk sarapan. Perjalanan pagi lancar. Belum banyak kendaraan di jalan. Setelah sarapan, saya siapkan dokumen yang dibutuhkan (surat permandian, akte kelahiran, KTP, kartu keluarga, ijazah SMP dan SMA). Sebab, kantor Imigrasi dibuka pada jam 8 pagi. Diperkirakan jam 8.30 mulai melayani pengurusan passport.

Jam 8.30, kami berangkat. Rupanya saya terlambat. Di sana sudah banyak orang. Dan, saya tanya beberapa di antara mereka yang tadi pagi saya jumpa. Mereka mengarahkan saya untuk meminta nomor antrian yang baru. Saya minta itu di bagian loket 1. Diberikan tetapi diinterogasi dulu. Ditanya, dari tadi dipanggil, ke mana saja? Saya kembali ke rumah untuk sarapan, jawab saya. Dia berikan nomor antrian yang baru tetapi nomornya 16.

Saya keluar untuk mengurus satu kertas-dokumen lagi sebagai pelengkap. Kertas ini mudah didapat. Tinggal dibayar 3 ribu rupiah saja di tempat fotokopi. Setelahnya saya ke dalam untuk ikut antrian. Di loket berikutnya—entah loket 2 atau loket 3—ada panggilan nomor antrian. Di situ diserahkan dokumen yang diperlukan.

Di situ akan dicek dokumennya. Dan, dokumen saya lengkap. Kemudian, saya menunggu panggilan di loket berikutnya untuk pembayaran. Di sini juga lancar karena saya sudah menyiapkan sejumlah uang yang cukup. Kebetulan teman saya sudah tahu sebelumnya. Hanya saja, lama antriannya.

Dan, antrian paling lama di loket berikutnya. Di situ akan diadakan foto dan wawancara serta diberitahukan tanggal pengambilan pasportnya. Saya hitung kira-kira 2-3 jam menunggu di sini. Dan, rupanya, kami lama antri karena alasan “teknis”. Sambil menunggu, saya memerhatikan banyak mobil yang masuk, membawa banyak penumpang. Rupanya, mereka inilah yang mengambil jatah kami.

Mereka ini masuk dengan “jalan tol”. Mereka datang hanya untuk foto saja. Dokumen lain sudah diurus dengan lancar. Bayarannya mungkin jauh lebih mahal dari kami yang lewat jalan biasa, bukan jalan tol. Tetapi, saya juga tak tahu jumlahnya.

Setelah mereka semua hengkang, antrian kami makin cepat. Satu per satu kami masuk dan tidak lama kemudian dipanggil bersamaan per 4 orang. Rupanya kami hanya foto saja. Foto tentu saja cepat. Wawancaranya tidak lama. Ya, hanya tanya-tanya tujuan pembuatan pasport saja. Itu saja. Dan, setelah foto dan wawancara, diberitahukan kapan pasportnya bisa diambil. Lima hari lagi pasport-nya jadi.

Wah….cepat yahhh, 2 loket terakhir disatukan. Lalu, bisa diambil 5 hari kemudian. Saya menunggu di Jakarta selama beberapa hari sebelum pasport keluar. Begitu keluar, saya langsung kembali ke Yogyakarta sore harinya. Lagi-lagi saya beruntung, dibelikan tiket pesawat untuk pulang. Datang dengan pesawat, pulang juga dengan pesawat. Tetapi bukan karena saya punya uang. Kebetulan saya “ada keperluan” sehingga dipercepat pulangnya.

Demikianlah perjuangan mendapatkan passport. Tulisan selanjutnya tentang proses pengurusan visa. Da-da-da- sampai jumpa. (bersambung)

Parma, 24 September 2013

Gordi

Tidak ada Rasa Kecewa, yang Ada hanya Puasss

Puas rasanya setelah hampir semua keluarga dikunjungi. Saya tidak tahu, liburan kali ini khusus untuk kunjungan saja. Padahal tidak ada rencana sebelumnya. Jauh sebelumnya memang ada niat. Dan kali ini niat itu terlaksana. Saya dan bapak saya banyak jalan. Dan mama saya selalu menanti di rumah. Menanti kepulangan kami setiap kali kami jalan.

Adik-adik saya juga selalu senang kala kami kembali. Pengen mereka juga ikut dengan kami. Namun semuanya tidak bias pergi bersama. Harus ada yang jaga di rumah. Dan memang beberapa kali kami jalan bersama. Tetapi yang lain tetatp di rumah. Yang lain lagi mau ikut tetapi sudah masuk sekolah. Yahhh singkatnya hanya saya dan bapak yang punya bapak waktu untuk bisa berkunjung.

Memang tidak semua keluarga dikunjungi. Waktu terbatas dan tenaga juga ada batasnya. Ada waktu untuk jalan ada waktu untuk beristirahat, mengobati kecapekan. Dua Tanta saya belum dikunjungi. Tiga tahun lalu saja saya mengunjungi mereka. Bukan berarti kali ini tidak ada niat tetapi karena tidak ada waktu.

Tidak ada kata kecewa karena tidak sempat mengunjungi mereka. Karena, saya sudah puas dengan kunjungan kali ini. Tidak semua tetapi sebagian besar. Dan sebagian besar ini belum dikunjungi pada liburan sebelumnya. Terima kasih untuk bapak yang selalu setia, semangat, untuk mengajak saya jalan, untuk memberi semangat kalaku lelah, untuk sama-sama bercerita, berbagi kisah dengan keluarga. (habis)

CPR, 20 Agustus 2013

Bukan Karena Tidak Mau tetapi Tidak Tahu



Selain keluarga Tanta, kami juga mengunjungi keluarga besar Almarhumah Nenek, ibu dari bapak saya di Sumar. Kunjungan ke sini dibuat dua kali. Pertama, ada pesta adat (Pasa). Kedua, acara penghormatan pada arwah leluhur kami.

Di sini Nenek kami lahir. Kampungnya dari sini. Kami sebagai cucu, juga bapak sebagai anaknya, tetap teratur mengunjungi kampung nenek ini. Bagi, kami, dalam kepercayaan adat Manggarai, kampung nenek merupakan asal-usul anak-cucu. Itulah sebabnya kami selalu mengunjungi kampung ini. Dari sini kami semua berasal.


Saya juga baru tahu kalau keluarga besar kami di sini banyak. Ketika acara pertama, saya, dua adik perempuan saya, bapak saya, dan kakak sepupu saya, turut hadir. Dan, rupanya bukan hanya kami saja. Banyak keluarga lain. Dalam hitung-hitungan asal-usul, yang datang saat itu adalah keluarga saudari. Ada berapa keluarga saudari yang hadir. Semuanya bersatu dan memberikan sejumlah dana kepada keluarga saudara.


Lain acara pertama, lain lagi acara kedua. Tidak ada pengumpulan dana untuk saudara dalam acara kedua. Yang ada hanyalah berdoa bersama dan memberi makanan kepada arwah kakek-nenek moyang. Juga acara khusus sebagai ucapan terima kasih pada orang tua atas didikan dan binaannya pada anak-anak. Jarak saya dengan kakek-nenek ini memang jauh. Dan memang yang membuat acara terima kasih ini adalah bapak saya dan saudara-saudaranya. Mereka adalah kumpulan anak-anak yang tahu berterima kasih pada orang tua. Tetapi, saya juga ikut berterima kasih karena saya juga menerima didikan dari bapak dan mama saya. Itulah sebabnya, kami mengunjungi kampung ini dua kali.

Keluarga kakek-nenek dari keluarga mama sudah dikunjungi, tetapi keluarga bapak belum pernah. Demikian jeritan hati bapak saya. Bapak saya sering mengunjungi keluarga mamanya sedangkan keluarga bapaknya jarang bahkan tidak pernah. Bukan karena bapak tidak mau. Bapak tidak tahu. Keluarga bapaknya jarang mengunjungi mereka.

Ibu dari bapak saya berasal dari Ngkaer-Satarmese. Dia hanya mendengar ujaran itu. Belum pernah saling kunjung. Itulah sebabnya bapak mengajak saya dan adik saya berkunjung ke sana. Dan menjadi sebuah berkat da rahmat karena, kami bertemu dengan keluarga itu. Setelah dihubung-hubungkan melalui cerita, kami berhasil bertemu keluarga ini.


Kami memang sudah merencanakan ini. Dan kami patut berterima kasih pada keluarga ini karena mereka menerima kami dengan senang hati. Ibaratnya anak yang pulang ke rumahnya. Kami bercerita dan menyebut-nyebut nama nenek kami. Dan dari nama itulah muncul kesamaan. Rupanya memang itu keluarganya. Dan dari nama pula tak dipungkiri kalau itu memang keluarga kami. Terima kasih untuk keluarga Satarmese-Ngkaer yang sudah menerima kami.

Kami pikir kampung itu jauh dan kami mungkin tersesat. Rupanya tidak. Dari Ruteng, kami naik mobil tujuan Narang. Dan kami turun di tengah jalan, di mana ada kampung perkembangan dari Ngkaer. Dan di sinilah kami menemukan keluarga kami. Terima kasih kakek dan nenek yang sudah menerima kami. Terima kasih Tuhan untuk anugerhamu ini. (bersambung)

CPR, 20 Agustus 2013
Gordi


Saya tetap Ingat Om dan Tanta



Kunjungan ke MAsing dibuat dua kali. Dan sebelum kunjungan kedua, saya mengunjungi Om saya (adik pertama dari mama). Dia dianggap sebagai Om yang bisa jadi jubir-adat. Bisa membawakan kata-kata wejangan dalam bahasa Manggarai. Saya dan bapak pergi ke rumahnya sehari sebelum kunjugan kedua ke Masing. Boleh dibilang kunjungan ini menjadi undangan.

Om saya ini tinggal di Lait-Hawe. Dekat dengan paroki. Istrinya kebetulan berasal dari kampung ini. Anaknya 6 orang. Empat lelaki dan dua perempuan. Anak sulung sudah duduk di bangku kuliah. Keluarga Om saya ini menerima kami dengan ramah. Keramahan inilah yang saya rasakan di rumah ini. Ini berarti mereka senang dengan kehadiran kami. Kami pun pulang dengan gembira hati. Mereka juga mendukung acara ini serta mendukung pendidikan saya.




Liburan kali ini boleh dibilang sebagai liburan untuk berkunjung. Meski tidak semua keluarga bisa dikunjungi tetapi kunjungan ini menjadi awal untuk mengenal keluarga besar kami. Demikianlah yang terjadi pada kunjungan ke Jengok-Kempo. DI sini ada Tanta saya. Saya sebelumnya hanya mendengar namanya. Kali ini bukan saja mendengar tetapi melihatnya langsung. Saya tak segan-segan untuk memintanya foto bersama. Dia sudah tua tetapi semangatnya masih muda ketika menerima kami. Dia sendiri di rumah tetapi bisa masak untuk kami. Anaknya di kebun. Dia juga sedang puasa. Dia satu-satunya tanta saya yang Muslim. Meski Muslim, dia tetap menghargai kami sebagai Katolik. (bersambung)

CPR, 20 Agustus 2013

Gordi

Sekali Melangkah untuk Dua Tempat


Petualangan kedua ke Masing, kampung kakek dan nenek saya dari keluarga Mama. Kunjungan ini juga sekaligus ke Wetik, tempat asal Bapak saya. Sebab, kami melewati Wetik jika mau ke Masing.

Kali ini yang ikut adalah Bapak dan Om saya. Kami bertiga berdoa sejenak sembari menyalakan lilin di kuburan Kakek dan Nenek di Wetik. Bapak memimpin doa. Kami bertiga masing-masing menyalakan lilin. Dalam hati, saya juga memohon sesuatu pada kakek dan nenek agar perjalanan belajar saya lancar. Kata orang, berdoa pada dan untuk arwah nenek moyang juga perlu. Dan, memang saya mengakui ini. Iman Katolik juga mengakui ini. Tradisi Manggarai-Flores juga demikian. Jadilah saya menjalankan tradisi dan juga mempraktikkan iman saya pada Kristus.

Kami juga singgah sebentar di rumah Bapak kecil saya di Wetik. Di sini kami bercerita sambil minum kopi. Alunan cerita membuat kami terbuai dengan waktu. Kami sadar lalu kami pamit dan melanjutkan perjalanan ke Masing.

Di Masing, kami bertemu Om saya dan juga Mama kecil (adik dari Mama) saya. Di sini juga kami berdoa di kuburan Kakek dan Nenek. Sayang sekali mereka sudah pergi sebelum saya kembali untuk liburan. Kakek lebih dulu, dua tahun lalu, kemudian Nenek, setahun lalu. Padahal waktu saya pergi, mereka masih sehat. Apa boleh buat saya tidak bisa melihat mereka lagi. Tetapi hati saya masih terbuka untuk membawa mereka dalam doa. Itulah sebabnya, malam ini juga kami berdoa di kuburan mereka.

Ini kunjungan pertama ke Masing. Masih ada kunjungan kedua, menjelang keberangkatan saya. Kunjungan kedua ini lebih meriah dan lebih tinggi bobotnya. Pada saat ini kami juga berdoa di kuburan. Selain itu ada juga acara doa bersama, memberi makan pada arwah nenek moyang, dan juga makan bersama. Keluarga yang hadir cukup banyak. Keempat Om saya hadir, Mama kecil, Mama, adik bungsu saya, Bapak kecil saya dari Wetik, dan Bapak. Ramai. Dan rupanya kunjungan kali ini berhasil mengumpulkan kami dalam kesatuan keluarga besar mama. (bersambung)

CPR, 20 Agustus 2013

Gordi

SEBELUMNYA: Petualangan-Petualangan Seru di Flores 1

Dia Sudah Pergi tetapi Kami tetap Datang

Di Jembatan Wae Impor, foto, koleksi pribadi
Liburan kali ini (Juli-Agustus 2013) beda dengan liburan sebelumnya. Kalau sebelumnya tidak banyak perjalanan, kali ini banyak sekali. Perjalanan bukan untuk sekadar mengisi waktu tetapi punya maksud jelas. Jelas sekali bahwa perjalanan ini perlu. Tetapi saya tidak mau kaku dengan istilah perjalanan bermaksud ini. Saya tetap mengistilahkannya sebagai perjalanan petualangan. Petualangan boleh dianggap sebagai sia-sia. Tetapi petualangan juga punya manfaat jelas.

Petualangan pertama saya buat bersama bapak saya. Kami mengunjungi keluarga tanta saya (Kakak Perempuan dari Bapak) di Monsok. Ini adalah kakak sulung bapak saya. Dia sudah pergi beberapa waktu lalu. Suaminya jauh sebelumnya ketika saya masih SD. Tetapi keluarganya masih banyak. Anak laki-lakinya yang kedua mendiami rumah Tanta saya ini. Anaknya ini, yang juga saya panggil kakak, sudah berkeluarga dan dikaruniai 2 orang anak.

Kami bertemu keluarga ini. Kami berangkat dari rumah pagi-pagi. Bapak saya melanjutkan perjalanan ke Ruteng. Sedangkan saya singgah di rumah Ovan, adik kelas saya, di Golowelu. Beberapa hari sebelumnya keluarga Ovan menelepon saya dan minta untuk bertemu. Dan hari ini pertemuan itu terjadi. Saya tinggal beberapa jam di rumahnya sembari menunggu bapak dari Ruteng.

Perjalanan ini menjadi berahmat karena ternyata bapak bertemu dengan istri kakak saya. Dia juga pulang dari Ruteng. Jadilah perjalanan ini sungguh berahmat. Kami sama-sama dalam bis menuju Monsok.

Kami senang bertemu kembali. Di Monsok ada dua kakak saya, Perempuan kedua dan Laki-laki kedua, anak dari Tanta saya ini. Sebenarnya ada satu lagi di Ranggu, kampung tetangga. Tetapi kali ini dia tidak sempat berkumpul. Dua keluarga ini berkumpul di rumah kakak laki-laki.

Lapangan Sepak Bola Paroki Ranggu, foto koleksi pribadi
Kami tiba siang hari. Panas-panasnya suhu di Monsok. Kakak saya rupanya sudah memahami kondisi ini. Dan, tahu juga cara mengatasinya. Dia membuat es kelapa muda. Air kelapanya kami minum. Sedangkan dagingnya dimakan. Uenak banget. Ini penerimaan pertama kami di sini.

Waktu terus berjalan dan sampailah kami pada sore hari. Kami berkunjung ke kuburan Tanta saya ini bersama kakak saya. Kakak laki-laki menunjukkan jalan. Ikut serta istri dan anak bungsunya. Jadilah kami berlima. Kami menyalakan lilin di beberapa kuburan keluarga Tanta. Kemudian kami berdoa sejenak.

Untuk inilah kami datang ke Monsok. Perjalanan ini jauh. Dari Kotok ke Golowelu. Dari Golowelu ke Ranggu. Dari Ranggu jalan kaki melewati Jembatan Wae Impor menuju Monsok. Yang terakhir ini ditempuh selama 30 menit. Medannya menantang. Menurun dulu baru mendaki dan sampai di rumah. (bersambung)

CPR, 20 Agustus 2013
Gordi





Bandara Komodo, Labuan Bajo, Flores, NTT, foto, Gordi, 
Perjalanan kali ini menarik sekali. Bukan karena panjangnya tetapi karena uniknya. Keunikan inilah yang saya kenangkan. Kali ini dari Jakarta, Cempaka Putih ke Floress, Labuan Bajo, dan ke rumah saya di Kotok, kecamatan Kuwus bisa ditempuh dalam satu hari.

Pagi di Jakarta, malam di rumah. Ini benar-benar terjadi pada Rabu, 10 Juli 2013. Saya dan Fonsi berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng pada pukul 5 pagi. Setengah jam sebelumnya kami bangun untuk masak mie dan sarapan ala kadarnya. Mie campur nasi dingin. Diramu jadi hangat. Ada juga kopi susu yang khusus kami siapkan malam harinya. Lumayan buat menangkal dinginnya ibu kota pagi ini.

Dua konfrater kami mengantar sampai di bandara. Jalanan masih lenggang. Laju mobil pun amat kencang. Tambah seru karena perut kami juga kencang. Saya dan Fonsi memang sengaja bikin perut kenyang. Penerbangan ke Denpasar, Bali ditempuh dalam 2 jam. Jadi, baik sekali kalau sebelumnya kami sarapan dulu.

Sarapan ini yang menguatkan kami dalam perjalanan dari Jakarta ke Pulau Dewata. Konfrater kami kembali ke Jakarta dan kami berdua masuk ke ruang check in maskapi Lion Air. Di sini antri sebentar sebelum masuk dan menunjukkan tiket. Lalu, kami membayar masing-masing Rp. 40.000.

Dari sini, kami menuju lantai dua di ruang tunggu. Di sini kami diperiksa kembali dengan metal detector, pendeteksi besi. Barang bawaan juga dimasukan dalam kotak pemeriksaan. Ini tentu saja dimaksudkan agar tidak ada yang membawa barang berbahaya. Karena kami membawa barang yang tidak berbahaya, pemeriksaan berjalan lancar dalam dua tempat, sebelum check-in dan menuju ruang tunggu.

Penerbangan ke Bali aman-aman saja. Tidak ada gangguan berarti. Hanya pesawat sedikit ojeng menjelang Bali. Ini dijelaskan juga oleh kru pesawat mengenai kejadian ini. Pesawat oleng karena melewati kabut tebal. Setelah oleng kami mendarat dengan aman. Hanya benturan keras ketika ban pesawat menyentuh landasan pendaratan.

Di Bali kami turun dari pesawat dan langsung naik mobil yang membawa kami ke ruang tunggu. Kami yang berstatus penumpang transist (masih melanjutkan perjalanan) diarahkan untuk menghubungi petugas di bandara. Kami turun dari bis dan menuju tempat yang ditunjuk. Kami menunjukkan tiket kepada petugas dan mereka mengecek.

Kemudian, kami diarahkan menuju ruang tunggu. Seperti biasa, kami melewati metal detector lagi. Pemeriksaan lancar juga. Setelahnya kami duduk di ruang tunggu. Di sini sudah banyak penumpang yang duduk. Mereka tersebar di beberapa kursi panjang. Ada juga ruang tunggu cadangan yang lebih besar di bagian luar. Di sini juga hampir penuh. Lowong sebentar lalu terisi lagi. Semua yang berada di ruang ini adalah penumpang transist.

Ada yang datang dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya menuju kota kecil di NTT dan NTB. Seperti sepasang suami-istri yang duduk berhadapan dengan kami. Mereka datang dari Semarang menuju Tumbaloka, kota kecil di Pulau Sumba. Ada juga seorang suster yang datang dari Dili-Timor Leste dan menuju Sumba juga. Pokoknya semuanya sedang menunggu keberangkatan ke kota kecil di daerah yang disebut.

Saya dan Fonsi akan terbang menuju Labuan Bajo-Flores. Penerbangan ini menggunakan pesawat Wings Air. Maskapi yang tergabung dalam Lion Air. Pesawat kecil ini berbaling-baling. Kami menunggu selama lebih kurang 2 jam. Sesuai jadwal yang tertera di tiket. Beruntung penerbangan kami tidak ditunda. Beberapa penerbangan lainnya ke beberapa kota yang menggunakan Wings Air ditunda.

Penerbangan ke Labuan Bajo juga lancar. Tidak ada hambatan. Cuaca dalam kondisi bersahabat. Kami tiba di Labuan Bajo pukul 12.30. Di sini bandaranya kecil dan sederhana. Tidak perlu mobil untuk mengantar penumpang ke ruang tunggu. Sebab, jarak pesawat dengan ruang tunggu dekat. Bagasi juga tidak perlu diantar pakai mobil pengantar. Cukup pakai gerobak yang didorong tenaga manusia. Yah…sederhana dan praktis. Mungkin karena bandaranya masih kecil sehingga perlengkapan di bandara juga sederhana.

Setelah membereskan tas dari bagasi saya melanjutkan perjalanan ke rumah. Fonsi menginap di Labuan Bajo. Kami berpisah. Tetapi nanti akan bertemu kembali. Saya naik travel ke Cancar. Kami berputar-putar sambil menunggu teman penumpang lainnya. Dan, pukul 15.00 baru berangkat. Ini menunggu paling lama dalam perjalanan hari ini.

Setelahnya travel berangkat. Di Cancar, bapak dan adik saya menunggu. Dari sini kami bernagkat pukul 6 sore. Kami naik ojek. Pakai 3 motor. Dingin, terasa sekali dalam perjalanan ini. Laju motor kencang meski jalanan berlubang, berbatu, dan berkerikil sebagiannya. Apa boleh buat inilah jalan daerah. Kami turun di Balo, kampung sebelum kampung saya.

Dari sini kami berjalan kaki selama 45 menit. Jalanan berbatu dan berlumpur sebagian. Maklum siang dan sore harinya hujan. Tanah basah. Beruntung kami membawa hp yang berlampu. Di kampung, hp tidak saja alat komunikasi tetapi juga alat penerangan. Kami menerangi perjalanan kami dengan 3 hp dan 1 lampu senter.

Kami tiba di rumah pukul 8.30 malam. Sudah malam tetapi anggota keluarga saya dengan setia menunggu. Saya senang sekaligus terharu bertemu keluarga. Saya sempat meneteskan air mata ketika mama memeluk saya. mereka menghargai saya sehingga harus menunggu saya untuk makan malam bersama. Demikian juga bapak dan adik saya yang menunggu sejak tengah hari di Cancar.

Akhirnya pagi di Jakarta, malam di rumah. Setelah sarapan saya istirahat. Capek terasa di badan. Saatnya beristirahat.

Jakarta, 21 Agustus 2013
Gordi
Diberdayakan oleh Blogger.