Halloween party ideas 2015

Cantik dan Bersihnya Pantai Portonovo...


Predikat cantik selalu jadi rebutan banyak pihak. Dari sifatnya memang predikat itu cenderung jadi rebutan pihak lelaki. Tetapi bukan lelaki saja. Predikat cantik juga jadi rebutan media massa.

Predikat cantik yang jadi rebutan ini juga yang kami alami pada Minggu, 17 Juli yang lalu. Mumpung belum mulai kegiatan, kami jalan-jalan ke beberapa tempat terdekat di kota Ancona, Italia Tengah. Salah satu yang kami kunjungi sore itu adalah Pantai Portonovo.

Sejak masuknya, sudah terasa sisi rebutan ini. Mobil kami ikut antri di turunan menuju pintu masuk pantai. Ini pertanda, pantai ini jadi rebutan. Dan, benar saja, di tempat parkir juga, kami harus menunggu 10 menit sebelum akhirnya menemukan tempat parkir. Kami mengisi lowongan yang ditinggalkan mobil sebelumnya yang sedang keluar.

Pantai Portonovo sore itu memang jadi rebutan banyak pengunjung. Banyak yang ingin merasakan kecantikan pantai ini. Kecantikan itu misalnya pemandangannya yang cantik. Air laut berwarna biru dan bersih. Ombaknya tidak terasa.

Kecantikan itu ditambah juga dengan warna pasir dan bebatuan di sana yakni putih dan mengkilat. Pasir itu menjadikan Pantai Portonovo sebagai salah satu pantai berpasir putih di Italia. Bebatuan yang kilat dan putih itu juga menambah predikat cantiknya pantai ini.


Batu dan pasir itu sebenarnya bukan milik pantai portonovo. Batu dan pasir itu merupakan hasil kolaborasi antara Gunung Conero (400 meter) dan Laut Adriatico.


Pantai portonovo memang berada di antara dua arus alam ini. Kolaborasi itu menghasilkan pasir dan batu. Laut Adriatico membawa arus laut sampai di pantai dan meninggalkan jejak pasir di sana. Sedangkan, Gunung Conero menjatuhkan beberapa serpihan sayapnya dalam bentuk batu. Jadilah batu dan pasir bertemu di Pantai Portonovo.

Gunung Conero itu terletak di belakang pantai ini. Dari pantai tampak kegagahan gunung ini. Jadi, di pantai ini hanya ada dua pemandangan ekstrem. Atau ke lautan lepas tanpa batas atau menghadap gunung. Tetapi Pantai Portonovo tidak saja berpemandangan ekstrem seperti ini. Ada juga pemandangan cantik lainnya seperti pasir putih dan batu kilat tadi.

Pemandangan di Portonovo memang bukan saja terbatas pada dua hal ini. Kalau mau lebih lagi, ada juga. Kelebihannya ada di 2 danau yang terletak di pinggir pantai yakni Danau Grande dan Danau Profondo. Kedua nama ini menambah kecantikan Pantai Portonovo.

Sesuai namanya, kedua danau ini mempunyai karakteristik masing-masing. Danau Grande, sesuai namanya adalah danau yang lebar dan besar. Yang satu lagi, Danau Profondo adalah danau yang kedalamannya melebihi danau Grande. Grande dalam bahasa Italia berarti besar, sedangkan profondo berarti dalam. Arti harfiah ini memang sengaja disematkan dalam nama kedua danau ini.



Di dua danau ini, hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan. Danau itu memang memperkaya alam di sekitar pantai. Di sana misalnya ada beberapa jenis ikan dan rumput laut. Ini baru di bagian (dalam) airnya. Di bagian luar, di permukaan dan di sekitar danau ada burung-burung khas Gunung Conero.

Hewan dan tumbuhan laut ini bisa hidup di danau karena kedua danau ini berkaitan dengan Pantai Portonovo. Air di danau itu berasal dari campuran air sungai dari Gunung Conero dan air laut yang meluap sampai di pinggir pantai. Dari situ terbentuklah kedua danau itu. Tentu ini tidak terjadi dalam waktu baru-baru ini. Prosesnya sudah lama sehingga sekarang danaunya menjadi danau yang lebar (Lago Grande) dan danau yang dalam (Lago Profondo).


Sejarah pantai ini meman panjang. Tak heran juga jika pemadangannya tidak saja dua tetapi lebih. Demikian juga dengan predikat lainnya dari pantai ini yakni pantai dengan segala rasa. Predikat ini memang bisa jadi muncul baru-baru ini saat pantai ini memiliki banyak restoran. Dari sinilah muncul segala rasa itu.

Dalam sejarahnya pantai ini menjadi tempat huni sekaligus benteng pertahanan. Sebagai hunian, pantai ini eksis sejak zaman prasejarah. Sedangkan sebagai benteng pertahanan, pantai ini menjadi milik beberapa kerajaan besar di Eropa. Misalnya Kerajaan Piceno (kota Piceno terletak tidak jauh dari pantai ini), Romana, Bizantino, Pontificio. Francese, sampai Kerajaan Italia.

Dengan penghuninya yang banyak ini, sejarah pantai ini menjadi lebih kaya. Pantai ini bukan saja sebagai tempat strategis keamanan tetapi juga menjadi tempat untuk berdoa, keamanan spiritual. Di sini, pada abad Pertengahan (sekitar abad V-XV), tinggal banyak para rahib.


Rahib adalah sebutan untuk orang Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk berdoa. Mereka tinggal dalam rumah khusus. Dalam istilah teologisnya, mereka mengkonsakrasikan diri mereka pada Tuhan dengan berdoa. Tetapi bukan berarti mereka selalu berdoa dalam kapel atau gedung gereja. Katakanlah berdoa menjadi tugas utama mereka.



Seorang pionir rahib di Barat, Santo Benediktus (480-547) mencetuskan slogan ora et labora yang artinya berdoa dan bekerja atau belajar. Benediktus mencetuskan slogan ini pada para rahibnya. Jadi, rahib-rahib ini berdoa dan bekerja-belajar. Dalam bekerja pun, mereka selalu berdoa. Maka, tak heran jika mereka berdoa dalam keheningan.

Para rahib ini tinggal dalam keheningan Pantai Portonovo dan Gunung Conero pada abad pertengahan. Saat ini, keheningan itu tetap ada tetapi para rahibnya tidak ada lagi. Jejak mereka masih tersisa sampai saat ini yakni berupa Gereja St Maria (sejak abad XI) yang letaknya merapat di gunung Conero dan Menara San Clementino (La torre di Clementino).

Sore itu, kami menjadi pengunjung dadakan di antara para pengunjung yang membludak di pantai. Ada yang berjemur di bawah teriknya matahari sore. Ada yang berjemu di bawah lindungan payung pantai. Ada yang mandi di laut. Ada juga yang sedang bermain-main di pinggir pantai seperti kelompok anak-anak. Ada juga yang sedang makan dalam restoran di pinggir pantai.




Fasilitasnya memang lengkap. Mau mandi air laut, atau air tawar, semuanya ada. 
Mau duduk manis sambil memandang laut dan menyeruput kopi bisa. Mau makan-makan juga bisa. Mau adakan acara ulang tahun sambil berpesta-joget ria juga bisa.

Sore itu, pemandangan itulah yang kami saksikan. Saya menjempret beberapa foto sambil jalan-jalan sampai di bagian tengah pantai. Memang di sini tidak ada dermaga besar untuk kapal. Jadi, tidak ada dermaga besar. Hanya ada dermaga kecil untuk sampan. Pantai ini memang bukan untuk kapal penumpang atau kapal barang. Pantai ini hanya tempat renang, mandi, atau berjemur.

Dengan fungsinya ini, pantai portonovo memang mengedepankan sisi kemanusiaannya. Maksudnya, di sini hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia menjadi perhatian utama. Salah satu sisi kehidupan manusia itu adalah kebersihan pantai. Pengelola pantai portonovo memang tidak main-main dengan sisi ini. Mereka sudah menunjukkan komitmen mereka dalam bidang kebersihan.





Jangan heran jika pantai ini mendapat penghargaan bendera biru (la bandiera blu) dari FEE, Foundation for Environment Education. FEE menjadi regulator dalam bidang lingkungan untuk seluruh pantai di Eropa dan di 48 negara di Eropa, Afrika Selatan, Selandia Baru, Kanada dan Karaibi.

FEE memberikan bendera biru untuk Panai Poronovo pada 2000 sampai 2002 dan dari 2011 sampai 2013. Dari 2003 sampai 2010, bendera biru itu tidak ada karena sedang ada beberapa pengerjaan oleh pihak pengelola pantai.

Setelah melihat kecantikan pantai Portonovo ini, dan memandang matahari yang makin hangat, kami putuskan untuk kembali ke rumah. Matahari memang sudah menutup beberapa bagian dari Gunung Conero. Pertanda, jarum jam bergeser menuju jam malam.

Pengunjung lainnya masih asyik berjemur dan bermain air laut. Portonovo memang cantik. Cocok untuk dihuni saat musim panas seperti ini. Terima kasih Portonovo.




Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

ANC, 28/7/2016


Gordi

Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana

Cantiknya ‘Sunset’ di Laut Adriatico, Italia Tengah



Pemandangan sore kadang menjadi sesuatu yang indah sekali. Keindahan alami seperti ketika matahari terbenam. Tampak seperti hal biasa. Toh, setiap hari melihatnya. Tetapi, kenyataannya pemandangan itu lebih dari kesan biasa tadi.

Setelah kemarin menari-nari diatas Laut Adriatico, saya mencoba melihat keindahan lain dari laut ini. Keindahan itu memang tidak sengaja saya dapatkan. Boleh dibilang hanya kebetulan. Tapi bukan berarti datang begitu saja.

Ceritanya sederhana saja tetapi maknanya mendalam. Setelah makan malam, saat matahari masih bersinar, saya jalan-jalan keluar rumah. Tidak banyak kendaraan yang lewat di depan rumah kami. Saya pun dengan mudah menyeberang jalan.



Di samping jalan terpana pemandangan indah berupa dataran rendah dan tinggi di kota Ancona, Italia Tengah. Rata-rata berupa tanah miring dan tidak rata. Rupanya di situlah warga Ancona mencari nafkah. Dari tanah miring itu, mereka bisa membuat minyak zaitun, kebun anggur, jagung untuk makanan sapi, kacang-kacangan, dan produk lainnya.

Tanah itulah yang menjadi pemandangan yang indah di Italia bagian Tengah ini. Saya terpana sebentar melihat pemandangan itu. Beberapa hari ini memang, mata saya dimanjakan oleh pemandangan itu. Sampai-sampai saya pun selalu bertanya pada sahabat saya yang orang asli di Ancona dan sekitarnya ini. Dengan panjang lebar mereka menjelaskan dengan bangga tentang kehidupan warga di daerah ini.

Setelah puas mendengar penjelasan itu, saya menolehkan pandangan ke arah laut. Kebetulan rumah kami letaknya di bukit. Agak jauh dari laut. Sekitar 4 kilometer. Tetapi, dari sini, kami bisa melihat laut yang indah dan luas itu.



Sore itu, saya menatap lama ke arah laut. Mula-mula warna biru nan indah masih tampak. Mata saya pun bisa menangkap kapal-kapal yang berlabuh dari kejauhan. Demikian juga dengan mobil-mobil yang keluar masuk dermaga kapal barang.

Pelan-pelan, sekitar jam 9 malam, pemandangan mulai berubah. Matahari mulai redup. Sinarnya berubah menjadi kuning. Di langit masih ada warna biru tetapi mulai menua sehingga tidak jelas lagi awan birunya. Warna kuning pun pelan-pelan berubah menjadi merah.

Bukan saja tiga warna ini. Warna-warni lain pun muncul. Ada biru tua, kuning, merah, jingga, ungu, dan sebagian hitam. Sungguh pemandangan yang indah. Apalagi dipadukan dengan permukaan laut. Jadinya, matahari berada di tengah. Ada laut, matahari, lalu langit.



Pemandangan ini amat indah. Saya pun mengabadikannya dalam beberapa jepretan kamera saku. Pemandangan yang jarang saya dapatkan di kota Parma yang letaknya jauh dari laut. Keindahan ini pun menjadi sesuatu yang luar biasa bagi saya.

Sungguh sang Pencipta begitu baik. Kebaikannya seperti keindahan langit dan laut sore ini. Saya yakin, siapa pun yang melihat pemandangan ini akan terkagum-kagum. Hanya orang yang buta warna saja yang tidak bisa mengagumi keindahan ini.

Begitu banyak manusia yang tidak buta warna. Maka, keindahan ini pun semestinya menjadi kekaguman yang luar biasa bagi banyak manusia. Saya yakin orang Ancona pun akan selalu terkagum-kagum melihat pemandangan ini. Keindahan yang tidak membosankan. Inilah keindahan abadi. Keindahan yang tidak membuat bosan meski berkali-kali melihatnya.



Saat saya mengambil beberapa foto, burung-burung mulai mencari sarangnya. Entah memang bersarang atau cuma berteduh saja di balik rindangnya pohon. Atau mungkin sedang mencari tempat yang aman. Bagi burung ini, tempat tidur semalam memang tidak terlalu sulit. Dia bisa bertengger dan bahkan terbang jauh untuk mencari tempat yang nyaman.

Yang jelas, saya saya memandang laut yang indah ini dan menjepret beberapa foto, kicauannya menemani saya. Saya tidak sendiri rupanya. Saya memang berdiri di tempat yang miring, di bekas potongan rumput. Tanah itu miring. Ada bekas jalanan untuk mobil pemotong rumput. Ada juga jalanan masuk untuk satu rumah yang letaknya agak jauh ke dalam.

Di jalanan yang letaknya sekitar 4 meter dari tempat saya berdiri, lewat beberapa mobil. Rata-rata mobil ini, dari dan ke laut. Atau paling tidak, ke arah pusat kota Ancona yang letaknya di pinggir laut itu. Atau juga ke stasiun kereta yang letaknya di dekat pusat kota.



Jalanan tol dalam kota, dan jalanan di kota Ancona pun mulai bersinar. Bukan lagi sinar mentari tetapi sinar lampu jalanan. Warnanya tetap kuning tetapi berkas cahanya berbeda. Berbeda dari cahaya mentari, berbeda pula dari cahaya matahari terbenam tadi.

Saat ini, jalan-jalan disinari oleh cahaya khas lampu jalanan. Cahaya ini dipadu dengan sorotan cahaya lampu mobil yang berlalu lalang. Entah mereka ini menyaksikan juga indahnya ‘sunset’ tadi. Boleh jadi ya dan boleh juga tidak. Atau boleh jadi cuek saja toh sering melihatnya. Yang jelas pemandangan sore ini amat indah.

Mari menghargai keindahan alam. Entah dengan apa pun caranya. Mengaguminya juga merupakan satu cara menghargai keindahan alam. Di tempat wisata seperti kota Ancona ini memang banyak hal indah yang bisa didapatkan. Dari matahari terbit sampai terbenam. Bahkan, malam hari pun keindahan itu masih ada. Selalu ada. Terima kasih untuk keindahan yang tiada tara ini.



Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.


ANC, 25/7/2016
Gordi

Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana



MENARI-NARI DI ATAS LAUT ADRIATICO



Menari-nari di atas laut. Itulah kesan yang disampaikan teman saya asal Burundi, Afrika, saat kereta kami melintas di pinggir Laut Adriatico, di daerah Marche, Italia Tengah.

Memang benar kereta kami sedang menari-nari. Dalam acara tarian pada umumnya, penonton dan penari merasa senang. Perasaan itu juga yang kami dan para penumpang lainnya miliki dalam kereta Regionale Velloce itu. Bayangkan kereta itu melintas tepat di pinggir laut Adriatico itu.

Laut Adriatico atau juga disebut Laut Mediterania adalah salah satu laut terindah di Italia. Begitu kesan orang Italia ketika ada pertanyaan tentang laut ini. Laut ini memang berada di bagian Kanan daratan Italia.



Jika kita lihat peta geografi Italia, memandang dari Utara (atas) ke Selatan (bawah), laut Mediterania berada di bagian Kanan. Laut ini berada di antara Italia dan beberapa negara yang berhadapan dengannya seperti Croazia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Albania, dan sebagainya.

Keindahan laut ini mengundang banyak wisatawan, dalam negeri dan luar negeri. Jangan heran jika kota-kota di sepanjang laut ini selalu ramai. Keindahannya memang sudah mendunia.

Kereta kami yang berangkat dari kota Piacenza (sekitar 52 km dari kota Parma) pada Sabtu, 16 Juli sore hari juga penuh dengan para turis dalam dan luar negeri. Dari Piacenza dan Parma (tempat kami naik) terlihat sedikit. Lalu, pelan-pelan menuju kota Bologna. Di sini mulai penuh.



Rupanya di setiap stasiun berikutnya selalu ada penumpang dalam jumlah besar. Dari anak-anak, remaja, orang tua, berkelompok besar dan kecil, keluarga, dan sebagainya.

Kereta kami memang harus berhenti di setiap stasiun besar di setiap kota. Kereta ini bukan kereta super cepat seperti Frecciarossa yang mencapai 300 km per jam. Kereta ini hanya kereta antar-provinsi. Mungkin seperti kereta Ekonomi atau Bisnis jurusan Jakarta-Surabaya di Indonesia.

Saya sengaja mengambil kereta ini dalam perjalanan dari Parma ke Ancona. Jarak dua kota ini memang jauh, 294 km. Jauh tetapi tidak mendesak sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk ambil kereta cepat.




Dengan kereta regional ini, kami bisa menikmati perjalanan dengan tenang dan nyaman. Tidak ada pencopet meski tetap was-was. Jadi, tidak perlu risau dan khawatir. Tempat duduknya juga luas. Duduk berhadapan, ke depan dan ke belakang. Dalam gerbong, ada pembagian kiri dan kanan untuk tempat duduk. Bagian tengah menjadi jalur pelintasan.

Ketenangan ini yang membuat saya tertidur pulas hampir 2 jam. Perjalanan ini memang hampir 4 jam, yakni 3 jam dan 49 menit. Rasa kantuk muncul karena kami berangkat dari Parma tepat setelah makan siang.

Sahabat saya, Maurizio, mengantar kami ke stasiun. Setelah 15 menit dalam mobil FIAT-PUNTO itu, kami masuk stasiun kota Parma, menuju ke tempat stempel tiket model elektronik, lalu naik ke binario (nomor jalur kereta dalam stasiun).



Kami tiba 15 menit sebelum kedatangan kereta. Waktu ini amat berharga meski pendek. Dalam perjalanan jauh, waktu pendek pun menjadi amat berharga. Maka, saya mengecek kembali perlengkapan perjalanan. Tiket, peta jalur kereta yang sudah saya print tadi pagi, aqua biar tidak repot beli di stasiun berikutnya, mp3 player biar tidak ngantuk, dan sebagainya.

Perlengkapan ini penting meski tidak semuanya digunakan dalam perjalanan jauh ini. Air aqua tentu saja diminum. Suhu hari ini panas sekali. Apalagi saat melintas di pinggir laut Adriatico itu. Untungnya jendela gerbong dibuka sehingga udara keluar masuk dengan lancar.

Mp3 player tidak saya nyalakan. Tidak ada gunanya. Saya malah tertidur setelah stasiun ketiga yakni Stasiun kota Bologna. Dari sini saya tidur  sampai menjelang tempat tujuan kami.



Saya tidak ingat kapan naik dan turunya. Saat membuka mata beberapa kali di hadapan saya duduk seorang remaja cowok Italia, lalu berikutnya ganti, remaja cowok Jepang, lalu terakhir duduk gadis manis Italia. Tidak ingat persis naik-turunnya karena saya bangun hanya sebentar saja.

Untungnya lagi tidak ada pengecekan tiket. Entah mungkin ada atau tidak. Entah teman saya yang memberitahukan kepada petugas kalau saya memang punya tiket. Tidak jelas. Semuanya berjalan lancar tanpa ada halangan.

Di beberapa stasiun besar dan ramai memang saya bangun sebentar untuk melihat-lihat stasiun dan juga mengecek keberadaan koper saya. Aman-aman saja rupanya. Teman saya meletakkan koper saya di belakang kursi. Ada lowongan kecil antara kursi yang mengarah ke belakang dan ke depan.

Di gerbong kami ini memang tidak ada tempat untuk menyimpan koper besar. Di atas tempat duduk ada deretan kotak tapi berukuran kecil. Hanya untuk tas jalan saja. Bahkan beberapa tas besar seperti tas naik gunung dari beberapa remaja dari Inggris pun tidak muat. Jadilah mereka meletakkan tas-tas besar dan tinggi itu di depan kaki mereka.

Gerbong ini bertingkat 2. Saya sengaja memilih tingkat 2. Dari sini bisa lihat ke mana-mana dari ketinggian. Beda dengan tingkat 1 yang hanya berupa pandangan seperti di kereta biasa. Hanya saja, dari tingkat 2 ini, kita bisa merasakan pergantian posisi kereta, saat miring dan berbelok. Di tingkat 1, ini tidak terasa.

Dalam stasiun, kereta ini biasanya seperti bus di Italia pada umumnya, memiringkan gerbongnya agar penumpang mudah masuk dan keluar. Gerakannya ini dibantu dengan entah karet pegas dalam gerbong. Kapten kereta seperti sopir bus menekan tombol dan langsung keluar bunyi busssss lalu gerbong kereta miring sampai pintunya rata dengan tempat pijakan kaki penumpang di stasiun.

Pemandangan inilah yang kami rasakan juga saat kereta berhenti di Stasiun kota Rimini. Di sini banyak penumpang yang datang dari Piacenza, Parma, Regio Emilia, Modena, Bologna, dan beberapa stasiun lainnya, turun. Tujuan mereka rupanya kota Rimini.

Kota Rimini adalah kota kecil tetapi ketenarannya juga mendunia. Beberapa sahabat Italia pernah bilang, Rimini adalah kota dengan jumlah bar dan diskotik internasional terbanyak di Italia. Di sini memang banyak tamu mancanegara. Hotel-hotel dan restoran selalu ramai oleh tamu mancanegara. Pengakuan seperti ini juga saya dengar dari seorang kenalan saya orang Indonesia, Bali, dua tahun lalu saat kami bertemu di Parma.

Kenalan ini sudah puluhan tahun tinggal di Bali. Rupanya dia datang sebagai pekerja di salah satu hotel. Menikah dengan orang Italia dan akhirnya punya hotel sendiri. Jadilah dia pengelola hotel itu. Kapan-kapan kalau mampir di Rimini boleh kontak kenalan ini.


Saat penumpang turun, kereta terasa lenggang. Dalam gerbong kami, hanya tersisa sekitar kurang dari 20-an penumpang. Di sini, saya bangun dan bercerita dengan seorang ibu muda Italia. Dia rupanya menuju kota Ancona seperti tujuan kami.

Saya bertanya tentang kota Rimini. Katanya, Rimini memang selalu ramai. Dia yang sering melintas di sini dengan kereta regional ini juga mengakui kalau pada akhir pekan seperti ini banyak orang pergi ke pantai Rimini. Apalagi, sambungnya, liburan musim panas seperti ini.

Dari dia juga kami tahu kalau jalur ini memang ramai tetapi tetap aman. Belum ada kasus ancaman bom bunuh diri dalam kereta atau stasiun seperti yang terjadi di Jerman, Prancis, Banglades, Turki, dan sebagainya pada hari-hari ini. Dialah yang menganjurkan pada kami untuk menyimpan koper di belakang kursi dalam awal perjalanan tadi.

Rupanya ramah juga ya ketika ditanya. Kirain tadi, agak cuek, apalagi matanya tertutup kacamata hitam. Setelah berbagi dua tiga kata (mengutip pribahasa Italia), kami pun sepakat untuk membuka kaca mata. Dialog pun menjadi lebih hangat sampai dia beberapa kali bercerita tentang anak dan suaminya. Tanpa bertanya pun, bisa disimpulkan bahwa dia memang bersuami dan punya anak satu.

Hal seperti ini kadang sulit sekali ditemukan antara orang baru kenal seperti ini. Beberapa orang Italia kadang-kadang tidak mau, tidak boleh, ditanya dan menjawab tentang status dan usia. Jadi, hati-hati jika bertanya tentang umur atau status perkawinan.

Sekitar 50 km sebelum tujuan kami, saya memutuskan untuk bangun dan tidak tidur lagi. Saya mencoba mengarahkan pandangan ke arah laut. Betapa asyiknya perjalanan ini. Betul-betul seperti kata teman saya, menari-nari di atas laut.

Di samping kereta, desiran ombak berbunyi bersama serunya bunyi gerbong kereta yang beradu dengan rel kereta. Di dalam gerbong, para penumpang siap-siap untuk turun, mengecek bawang bawaan mereka. Sesekali kereta berhenti bukan karena dihadang air laut tetapi singgah di stasiun yang letaknya tepat di pinggir laut.

Di pantai sepanjang rel dekat laut ini, terbaring banyak pengunjung dan pecinta pantai. Sedang berjemur di bawah teriknya mentari. Mencari angin dan suhu dingin. Memerahkan kulit putih nan mulus. Boleh jadi mereka ini juga tiba di sini dengan kereta ini. Ya, mereka dan kami memang sama tetapi juga beda. Mereka sedang menikmati angin laut di pantai itu. Kami masih dalam perjalanan menuju tujuan kami. Tetapi, kami sama-sama berada di pinggir laut Adriatico ini.


Tepat pukul 17.19, kereta kami berhenti di stasiun kota Ancona ini. Setelah mengecek semua bawaan, kami turun dari lantai 2, ke lantai 1, lalu keluar kereta. Berjalan sebentar dalam stasiun sambil membaca petunjuk keluar, lalu keluarlah kami dari stasiun.

Di luar, dengan mudah, kami menemukan dua sahabat kami yang menjemput kami. Mereka rupanya baru tiba dari tempat parkir. Ucapan Selamat bertemu kembali keluar dari mulut kami sambil memeluk erat ala italia. Pelukan ini menandakan persahabatan erat antara kami.

Terima kasih untuk Dia yang membolehkan kami berjalan dalam kereta ini. Darat dan laut menyatu dalam persahabatan yang indah, seindah lautan biru ini.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.


ANC, 22/7/2016
Gordi

Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana



Diberdayakan oleh Blogger.