Halloween party ideas 2015

2 Hari 1 Malam di Pulau Dewata

pemandangan di pantai dekat bandara Bali
Foto tahun 2013, Gordi
Seperti apa rasanya tinggal di Bali? Kata orang menyenangkan. Betulkah dmeikian? Mayoritas mempunyai kesan demikian. Meski Pulau ini digoncang bom 2 kali, 2002 dan 2005, minat wisatawan ke sini tetap tinggi.

Saya juga sering mendengar kesan menarik seperti ini. Lantas apakah saya datang ke Bali karena semata-mata kesan itu? Tidak! Saya hanya sementara saja di sini. Singgah atau transit saja. Kebetulan ada keluarga di sini. Jadi, saya diperkenankan untuk emnginap. Juga teman baik saya dari kampung. Dia lebih dulu tiba. Di rumah dia juga saya menginap.

2 hari 1 malam di Pulau dewata. Tiba di Pelabuhan Benoa pada Jumat, 12 Agustus 2005, terus ke daerah Renon-Denpasar, di mana sahabat saya tinggal, lalu Sabtu, 13 Agustus sore hari berangkat dari Bali. Saya tidak mengerti apa-apa tentang Bali di tahun 2005 itu. Saya ingat dua hal tentang Bali. Dua hal ini adalah kesan saya dalam sekejap di sana.

Pertama, saya melihat seragam batik untuk anak sekolah Bali. Ini berbeda dengan kebiasaan kami di NTT yang mengenakan seragam Merah-Putih, Biru-Putih atau Abu-Putih. Di sini, anak sekolah memakai seragam batik. Saya lantas bertanya, apakah di sini tidak mengenakan seragam sekolah?

Teman saya menjawab demikian. Ada juga seragam sekolah. Maksudnya seragam nasional. Kalau yang batik ini seragam khas sekolah. Jadi, tiap sekolah seragam khasnnya berbeda.

Kesan kedua adalah tentang orang Bali. Siang hari setelah makan, saya sempat keluar rumah, ke halaman tengah. Di situ ada pohon tinggi dan besar. Saya melihat seorang cewek membawakan berbagai jenis makanan di situ. Ada pisang, ada daun, ada lilin unik berupa lidi berwarna merah, ada buah yang lain. Inilah yang dinamakan sesajian. Saya tak paham soal ini. Saya juga bertanya pada teman saya.

Ternyata beginilah kebiasaan orang Bali. Mereka menganggap pohon itu sebagai Tuhan yang disembah dan dihormati. Pohon itu membutuhkan sesajian (persembahan) dari manusia.

Demikain penjelasan yang saya dapat dari pembicaraan dengan teman saya.
Bayang-bayang ke rumah belum muncul karena keramaian di rumah keluarga ini. Saya yang orang baru malah melyangkan bayangan ke kota Yogyakarta. Kapan yahhhh...sampai di sana? Ini pertanyaan yang menggema di hati.

“Kita langsung beli tiket di terminal besok,” demikian kata keluarga saya. Saya hanya ikut saja. Pokoknya kalianlah yang mengurus semua ini.
Okelah kalau begitu. Malam ini kita tenang-tenang saja. Mulailah kami bercerita. Saya tak banyak buka mulut. Apalagi di antara yang berkumpul, saya hanya mengenal satu orang saja. Plus sahabat yang datang bersama dari rumah. Yang lainnya asing bagi saya.

Saya hanya punya kesempatan untuk berbincang dengan kenalan saya ini. Untung saja dia cukup aktif. Dia mengajak saya berbincang. Juga dengan pemilik rumah. Jadi, meski saya tidak banyak kenal mereka, mereka cukup aktif mengajak saya berbicara. Mereka memang mengenal ayah saya. Tetapi ayah saya kan beda dengan saya. Dia terkenal sedangkan saya tidak. Tetapi saya kecipratan keterkenalannya. Gara-gara namanya dia, saya jadi ikut terkenal juga.

Saya tidak ada waktu untuk jalan-jalan selama 2 hari dan 1 malam di sini. Hari pertama datang, langsung istirahat. Malamnya tidur pulas. Besok pagi sampai siang hanya diam di rumah saja. Sorenya siap-siap ke Yogya. Seperti apakah perjalanan selanjutnya ke kota pelajar di Idnonesia ini???? (bersambung....)


PA, 23/10/2012
Gordi Afri

Rute Paling Menggoncangkan Dari Labuan Bajo ke Denpasar

foto, Gordi
Kamis, 11 Agustus 2005. Hari bersejarah dalam hidup saya. Hari ini saya—pertama kali—menumpang kapal laut. Saya orang darat. Berasal dari daerah pedalaman. Daerah pegunungan. Jauh dari laut. Hari ini menjadi orang laut. Orang yang hidup di atas laut. Saya akan tinggal dalam kapal di atas laut selama 2 hari ke depan.

Kalau dipikir-pikir, saya hanya tinggal 2 hari di atas laut. Bayangkan mereka yang menumpang kapal pesiar, berbulan-bulan di atas laut. Atau mereka yang berlayar dengan perahu kecil, berminggu-minggu di atas laut. Mereka yang mencari suaka ke Australia dan harus melewati perairan Indonesia secara ilegal. Mereka yang berbulan-bulan di atas laut mencari dan mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia.

Mereka ini hidup di atas laut. Demikianlah ritme hidup yang pernah saya dengar dari teman-teman saya yang berasal dari keluarga nelayan. Sore berangkat dengan sampan, mencari ikan di laut. Makan malam di atas kapal. Sepanjang malam di atas sampan. Esok pagi ketika mentari bersinar baru kembali ke daratan.

Pukul 7 pagi, kami berangkat dari Labuan Bajo dengan kapal Tilongkabila. Kapal ini adalah salah satu kapal penumpang yang melayani rute Makasar sampai Bali. Kapal ini berangkat dari Pulau Sulawesi ke Labuan Bajo-Flores, ke Bima-Sumbawa, ke Lombok,  dan sampai di Benoa-Denpasar-Bali.

Kapal yang mampu mengangkut 970 orang penumpang ini menghabiskan 3 hari perjalanan dari Makasar ke Benoa-Denpasar. Dari Labuan Bajo ke Benoa hanya 1 malam 2 hari.

Kamis itu, kami berangkat pukul 7 pagi. Penumpang yang naik di Labuan Bajo diperkirakan ratusan orang. Pagi ini suasana dermaga Komodo yang baru saja diresmikan tahun 2005 itu amat ramai. Jumlah pengantar penumpang lebih banyak ketimbang jumlah penumpang yang berangkat.

Siang harinya, pukul 2 siang, kami tiba di Pelabuhan Bima-Sumbawa. Di sini ada penumpang yang turun dan naik. Dari Labuan Bajo saya dan teman saya mendapat tempat di lorong dek kapal. Kami duduk di luar kapal. Kami belum mendapat kasur untuk tidur. Di Bima kami memperoleh kasur dari penumpang yang turun. Teman saya jago melobi sehingga mendapat tempat dan kasur yang ada dalam kapal.

Dari Bima kami bertolak lagi ke arah Barat setelah beristirahat selama 30 menit. Kapal boleh sandar di Bima maksimal 30 menit. Mengingat banyaknya penumpang yang akan naik dan turun. Kami berangkat menuju Pulau Lombok. Dalam perjalanan inilah saya merasakan bermalam di kapal. Sore hari pemandangan di laut sangat indah. Matahari yang terbenam menjadi pemandangan tercantik dalam perjalanan ini. Malam ini juga kami tidur di atas kapal. Sang kapten dan kru kapal tetap bersiaga.

Tak ada perasaan takut sama sekali karena ramainya suasana di kapal. Teman saya sering membuat kami tertawa. Dalam kelompok kecil itu kami merasa seperti saudara. Suasana persaudaraan itulah yang mengikat tali persahabatan kami. Merasa sama-sama sebagai penumpang dalam kapal.

Esok paginya, pukul 6, kami bersandar di Pelabuhan Lombok. Di sini ada banyak penumpang yang turun. Sedangkan yang naik sedikit. Pemandangan unik mulai terlihat di sini. Buruh pelabuhan berdesakan di mulut dermaga menunggu kapal bersandar. Mereka mengais rezeki dari penumpang kapal yang turun.

Merekalah yang berjasa mengantar barang bawaan penumpang ke luar dermaga. Sayangnya aksi mereka kadang-kadang terlampau membahayakan. Baik bagi penumpang juga bagi sesama buruh. Pemandangan yang sama terjadi di pelabuhan Bima-Sumbawa kemarin siang. Mereka suka berebutan dalam melayani penumpang. Kapal belum sandar dengan baik, mereka sudah berebutan di dermaga. Waktu penumpang turun dari kapal, mereka juga kadang-kadang berebutan membawakan barang bawaan penumpang.

Setelah 30 menit bersandar, kami melanjutkan perjalanan ke Benoa-Denpasar. Bagian ini menjadi perjalanan penuh perjuangan. Menurut teman saya dan cerita dari mereka yang sudah beberapa kali melewati rute ini, di sini ombaknya lebih kencang dan tinggi. Kapal-kapal kecil biasanya tak luput dari pengaruh ombak. Kapal bergoyang. Kapal Tilongkabila yang dibuat di Jerman pada tahun 1994 sedikit bergoyang. Saya merasakan goyangnya karena saya sedang berada di kamar mandi. Air di bak mandi mengalir keluar. Saya juga merasa terlempar dan sempat pusing.

Setelah melewati rute paling menggoncangkan ini, kami tiba di pelabuhan Benoa-Denpasar pada pukul 1 siang. Dermaga di sini ukurannya besar. Banyak kapal bersandar. Ini kota besar, kota pariwisata. Keluarga yang menjemput kami sudah menunggu di ruang tunggu dermagaa saat kami mau sandar. Kebetulan ada teman sekampung saya. Dia sudah lebih dulu—2 minggu—di Bali. Dia juga datang menjemput saya. Mereka ini berjasa bagi saya.

Selesailah petualangan di atas laut, di dalam kapal dari Flores ke Bali. Perjalanan pertama di atas laut. Perjalanan penuh goncangan, kecemasan, ketakutan. Perjalanan yang mengesankan. Saya menjadi tahu suasana di atas kapal ketika berlayar. Dulu saya berpikir dan membayangkan, bagaimana yah..rasanya berada di atas kapal. Kalau kapal itu tenggelam, nyawa saya dan penumpang lainnya bagaimana? Di makan ikan? Diselamatkan? Mengapung di atas laut?

Ini bayangan aneh dan terlampau negatif. Kini saya tahu, suasananya tak seperti yang dibayangkan. Berada di atas kapal sungguh menjadi suasana yang menyenangkan. Ada pemandangan indah, ada suasana persaudaraan. Semua penumpang merasa seperti satu keluarga besar. Ada persahabatan yang dibangun dalam 2 hari perjalanan. Ada pula kesedihan ketika harus berpisah di tempat tujuan akhir yakni Bali. Terima kasih Tuhan untuk perlindunganmu dalam perjalanan ini.

Saya masih melanjutkan petualangan ke kota Yogyakarta. Sekarang baru setengah dari perjalanan itu yang dicapai. Seperti apakah petualangan saya selanjutnya menuju Yogyakarta?
(bersambung......)

PA, 20/10/2012




Tiga Hari di Labuan Bajo

pemandangan di sekitar dermaga Labuan Bajo, foto, Gordi
Tinggal di kota Labuan Bajo. Kota ini bukan tempat asing bagi saya. Tiga tahun hidup di kota yang panas ini. Saya menghabiskan masa SMA di sini.

 Agak sulit pada awalnya. Sebab, saya dari daerah pegunungan. Agak tinggi dari permukaan laut. Suhunya sedang dan dingin. Beda dengan Labuan Bajo yang panas. Labuan Bajo, kota pariwisata, pintu masuk ke Pulau Komodo. Labuan Bajo mempunyai obyek wisata yang menarik, batu cermin, pasir putih, pante Binongko, pante Pede, dan sebagainya.

Hari pertama datang bersama bapak dan seorang sahabat. Kami bertiga di kota Labuan Bajo. Kami menginap di rumah keluarga kami. Di situ kami tinggal dua malam. Mereka menerima kami dengan tangan terbuka. Maklum, mereka sebagai tuan rumah mesti ramah dengan tamu. Apalagi, kami membawa oleh-oleh sebagai buah tangan dari kampung untuk mereka di kota yang jarang mendapatkannya.

Saya sempat mengunjungi asrama dan sekolah saya. Bertemu dengan adik-adik di asrama dan di sekolah. Juga dengan para pendidik saya di asrama dan sekolah. Kami berbincang dan bersenda gurau. Pertanyaan tentang tujuan keberangkatan saya pun dilontarkan. Saya dengan mantap mengatakan saya akan ke kota Yogyakarta. Ini untuk membuat mereka semangat menimba ilmu. Kelak, seperti saya akan keluar dari daerah sendiri dan merantau serta menimba ilmu di daerah baru.

Pada hari kedua, kami, saya dan bapak tidur di rumah keluarga kami yang lain. Bukan berarti kami tidak senang dengan keluarga yang satunya. Bukan. Kami pindah supaya dekat dengan dermaga, tempat kapal laut berlabuh. Biasanya kapal masuk pagi sehingga kami harus berangkat pagi ke dermaga. Dari tempat keluarga yang baru ini, kami membutuhkan waktu 10 menit. Beda dengan keluarga yang sebelumnya, kira-kira 20 menit.

Di sini juga kami diterima dengan tangan terbuka. Mereka senang kami menginap di situ. Keluarga itu datang dan memberi semangat kepada saya. Ada juga nasihat-nasihat bagaimana berperilaku dan bertutur kata di kota Yogyakarta. Semuanya berupa seruan agar saya bisa mengenyam pendidikan dengan baik di kota Yogya. Saya hanya mendengarkan saja. Tidak banyak berkomentar. Ya..ya..saja sebab saya memang mau berangkat, mau belajar di tempat yang baru. Mereka yang memberi nasihat itu sudah pernah hidup di kota besar seperti Yogya. Tak heran jika mereka membagikan pengalamannnya.

Malam itu malam terakhir saya tinggal di Labuan Bajo. Saya berpamitan kepada keluarga dan kenalan yang lain. Pagi-pagi buta saya sudah siap untuk berangkat. Bapak saya rencananya ikut mengantar sampai Bali. Alangkah senangnya hati ini. Tak perlu dirisaukan lagi sebab bapak ada di samping saya. Meski sedikit takut dan cemas. Bagaimana jika kapal di tengah laut, tidak ada pulau dan daratan lagi yang bisa dilihat. Hanya ada pemandangan hijau lautan lepas. Hanya berdiri atau duduk di kapal. Di bawahnya ada lautan yang dalam. Kalau jatuh nyawa jadi makanan ikan. Takut.....

Ketakutan ini semakin menjadi ketika bapak ternyata memutuskan untuk tidak jadi berangkat. Saya dipertemukan dengan seorang kenalan yang akan berangkat ke Jakarta. Dia berjanji menemani saya sampai Bali. Bapak pun berpesan hati-hatilah nak. Itu saja. Saya sedih. Beruntunglah teman ini tidak sekadar menemani. Dia juga menghibur saya. Dia memang sudah sering merantau.

Ada untungnya jika bapak tidak ikut ke Bali. Yang paling kentara adalah soal biaya. Kalau ke Bali berarti siap keluar uang banyak. Banyak bagi kami yang keadaan ekonominya pas-pasan. Dengan batalnya ke Bali, uang itu bisa digunakan untuk yang lain.

Dari atas kapal, ketika kapal mulai bergerak, saya melambaikan tangan ke arah bapak. Sedih.... air mata mulai menetes. Dalam hati ada perasaan sedih dan takut. Tetapi pelan-pelan kapal itu berangkat meninggalkan kota Labuan Bajo. Kami berangkat bersama ribuan penumpang lainnya menuju Bima, Lombok, Sumbawa, dan Bali. Bagimana rasanya tinggal di atas kapal???? (bersambung.....)


Sebelumnya: Dari Flores ke Yogyakarta (1)

PA, 18/10/2012
Gordi Afri

Babak Baru dalam Kehidupanku

mainanan balon di dekat dermaga
Labuan Bajo, foto tahun 2013, Gordi
Kehidupan ini berjalan terus menerus. Tiada perhentian. Kalau pun ada hanya untuk sebentar saja. Kalau berhenti berarti tidak ada lagi kehidupan di dunia ini.

Saya juga bertumbuh mengikuti arah perjalanan hidup ini. Tanggal 8 Agustus 2005, tepatnya hari Senin, saya berjalan menyusur babak baru dalam perjalanan hidup saya. Hari ini saya berangkat dari kamung halaman dan akan menuju tanah rantau yang jauh. Bukan berarti saya tidak pernah jalan jauh.

Sudah sejak SMP, saya merantau. Merantau dalam artian tinggal jauh dari rumah sendiri. Saya tinggal di asrama dan melanjutkan pendidikan di sekolah menengah. Tempatnya cukup jauh. Kalau jalan kaki kira-kira 5-6 jam. Itu pun melewati beberapa kampung, beberapa sungai besar, lalu keluar masuk hutan. Tetapi kalau dengan mobil hanya 1-2 jam saja.

Daerah itu masuk kecamatan lain. Di Flores pada umumnya wilayah kecamatan cukup luas. Terdiri dari beberapa desa yang berjauhan. Bayangkan saja letak antara daerah yang beda kecamatan.

Dari sinilah saya mulai hidup merantau. Kehidupan semacam ini berlanjut ketika saya SMA. Tinggal berjauhan dengan orang tua. Yang ini harus melewati beberapa kecamatan. Perjalanan dengan mobil saja membutuhkan waktu 8-9 jam.

Kehidupan merantau berikutnya saya alami ketika tinggal lebih jauh lagi. Kalau tadi hanya melewati satu kecamatan dan beberapa kecamatan saja. Yang ini melewati beberapa kabupaten, beberaa provinsi, dan beberapa pulau. Bayangkan saja jauhnya.

Dari Flores sampai Jawa. Dan hari ini, 8 Agustus 2005, saya mulai berpetualang. Saya berangkat dari rumah menuju kota Labuan Bajo. Dari sini nantinya saya akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali.

Saya mengutip goresan yang ada di catatan harian saya,
Hari ini merupakan hari yang sangat menyedihkan baik bagi saya sebagai anak yang akan meninggalkan ayah, ibu, sanak saudara, dan kampung halaman maupun mereka semua yang ditinggalkan. Dengan berat hati saya ingin meninggalkan mereka. Juga mereka dengan berat hati melepaskan saya. Tetapi karena demi panggilan kami semua sama-sama merelakan.”

Inilah kalimat yang saya gores pada buku catatan harian saya. Kalimat yang singkat namun padat makna. Meninggalkan dan ditinggalkan memang tidak gampang. Tetapi lebih dari situ mesti ada kerelaan sehingga cita-cita terwujud.

Saya berangkat bersama bapak saya. Mama dan adik-adik saya yang kebetulan masih ada di rumah melihat kepergian saya. Dengan haru dan isak tangis mereka meratapi kepergian saya. Saya naik di mobil dan melambaikan tangan. Hati ini rasanya belum rela pergi. Mata ini hampir menitikkan air mata. Tetapi bagaimana pun saya harus berangkat. Saya harus pergi dan memulai babak baru dalam hidup saya. Tak mungkin saya terus berada di rumah.

Perjalanan hari ini cukup melelahkan. Hati saya sudah berbinar mengarahkan bayangan ke kota Bali tuk selanjutnya ke kota Yogyakarta. Tentu saja ini perjalanan awal. Saya mencoba menikmati pemandangan yang ada di pinggir jalan dari rumah ke Cancar, lalu dari Cancar ke Labuan Bajo. Semuanya masih di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Bagaimana perjalanan selanjutnya? Nanti kita lihat bersama. (bersambung...)

PA, 17/10/2012
Gordi Afri



Jalan-jalan mestinya disertai dengan foto-foto. Ini yang diamini oleh banyak orang terutama yang hobi jalan-jalan. Rasanya tidak ada yang khusus jika jalan-jalan itu tidak diabadikan. Apalagi kalau perjalanan itu menjadi kesempatan langka. Juga bagi mereka yang berkeluarga, perjalanan itu menjadi sesuatu yang berharga. Di rumah masih ada istri/suami dan anak-anak yang menunggu foto-foto kita.

Bulan Agustus kemarin, saya dan dua orang sahabat mengunjungi kompleks Gereja Katolik Ganjuran dan Candi Hati Kudus Yesusnya. Tempat ini unik dan ramai dikunjungi orang. Tak jarang jika tempat ini terkenal. Saya sudah beberapa kali ke sana. Paling tidak sekarang sudah lebih dari dua kali.

Perjalanan kali ini tidak diabadikan dengan foto-foto. Yaaah..semacam kunjungan biasa. Padahal ada perbedaan antara kunjungan dulu dan dan sekarang. Gereja dan kompleks yang dulu—sebelum gempa Yogya tahun 2006—beda dengan gereja sekarang. Sekarang agak megah dan tentunya baru saja didirikan atau direnovasi.

Gereja dan kompleks candi boleh saja berbeda tetapi kami tidak memedulikannya. Kebetulan kunjungan ini juga mendadak. Hanya dirunding sepuluh menit sebelum jalan lalu langsung jalan.

Kunjungan ini memang hanya sekadar kunjungan. Seorang sahabat belum pernah ke sana dan mau melihat tempat itu. Saya ikut saja untuk menemani. Jadi...kunjungan ini tetap menjadi kenangan meski tidak ada foto-foto. Mudah-mudahan kunjungan berikutnya bisa dibuatkan foto-foto.

Bukan foto-foto yang penting meski itu berguna. Yang penting adalah saya mau dan rela menemani sahabat saya.

PA, 15/10/2012
Gordi Afri
Diberdayakan oleh Blogger.