Halloween party ideas 2015

Jalan-jalan di Roma

saat mengikuti doa Angelus di halaman St Petrus, foto dok prbadi
Tinggal di Roma selama 7 hari. Tiba hari Rabu siang dan berangkat lagi hari Selasa pagi minggu berikutnya. Ada jeda di hari Minggu. Kesempatan ini kami gunakan untuk ikut doa Angelus bersama Paus Fransiskus dan ribuan pengunjung dari penjuru dunia di lapangan St Petrus, Vatikan. Kali pertama dan mungkin hanya ini saja, saya melihat pemimpin Gereja Katolik itu dari dekat. Saya juga mengabdikan beberapa foto yang saya ambil di sela-sela doa ini. Saya ingat saat itu paus dalam kata-katanya menyerukan seruan perdamaian untuk Siria.
Paus Fransiskus, foto dok pribadi

Vatikan, foto, dok pribadi
Kami juga masuk di lingkungan Vatikan. Mulai dari ruangan utama, museum Vatikan, juga kubah Vatikan. Tempat ini sudah saya lihat sebelumnya melalui TV dan internet. Kali ini rasanya lain, melihat langsung.
di puncak kubah Vatikan, foto dok pribadi
di dalam museum Vatikan, foto, dok pribadi

saat antri di pintu masuk Musem Vatikan
koloseo, Il Colloseo, foto dok priibadi
kota tua Roma, foto, dok rpibadi
Di Roma, kami mengunjungi beberapa tempat seperti 4 basilika besar, dan beberapa tempat terkenal lainnya, termasuk Koloseu, gereja di Iesu, Fontanelatto, Kota Tua Roma, dan sebagainya. Untuk tidak memperpanjang kata, saya mengakhiri tulisan ini dengan menyuguhkan beberapa foto. Terima kasih sudah membaca tulisan ini dari awal. Salam

Gordi

Sebelumnya,







Selamat Karena Baju Batik

pemandangan di jalan, foto, dok pribadi
Kami keluar dari pesawat. Masuk jalur keluar, melewati pintu pemeriksaan. Menunjukkan dokumen pasport. Petugas memeriksanya dengan teliti sambil melihat wajah kami. Lolos. Kami tidak mendapat hambatan seperti yang kami dengar sebelumnya. Tidak juga diinterogasi. Memang kami datang dengan maksud yang jelas, bukan membawa sial. Tas jinjing tidak dibuka.

Lalu kami menuju pos lainnya untuk mengambil koper. Kami menunggu dengan sabar di sini. Banyak penumpang yang menunggu. Banyak koper yang lalu lalang. Dan setelah sekian menit, kami mendapatkan koper kami. Lalu kami keluar menuju ruang tunggu di bagian luar bandara. Di pintu, kami sempat dicegat oleh orang yang tak kami kenal. Dia tanya pakai bahasa Italia tetapi kami tidak meresponsya. Lalu, dalam bahasa Inggris, dan kami merespons. Rupanya dia mencari tenaga kerja. Maaf, kami datang untuk belajar dan bukan untuk bekerja.

pemandangan di jalan, foto, dok pribadi
Kami menunggu di luar. Ada banyak orang di sini. Menjemput, dan sedang menunggu. Kami mencoba mencari orang yang kami kira akan menjemput kami, Pastor Stradiotto, SX. Rupanya tidak ada. Kami mencari ke sana kemari tidak juga. Memang kami tidak pernah bertemu. Saya pun tidak tahu seperti apa mukanya. Hanya satu modal saya, saya diberitahukan bahwa dia tinggi dan besar.

Karena tidak menemukan, kami mencari cara lain. Kami meminta bantuan seorang suster Italia yang bisa berbahasa Inggris untuk menelepon ke rumah kami di Roma. Kebetulan suster ini sedang menjemput temannya. Dia tahu rumah yang kami cari. Kami berhasil berbicara dengan pastor ini. Kata pastori itu, dia akan datang beberapa saat lagi. Terima kasih suster atas bantuannya.

Tiga puluh menit kemudian, pastor datang dengan seorang pastor lainnya, Pastor Marco, SX. Fonsi yang lebih dulu menemukan mereka kala saya sedang mencari ke sana kemari. Fonsi langsung tahu karena pastor yang pernah bekerja di Padang ini mengenakan batik Indonesia. Wahhh untunglah ada baju batik.

masuk kota Roma, foto dok pribadi
Saya sudah merasakan bagaimana pusingnya mengalami kegagalan di bandara besar ini. Roma adalah kota besar berlevel internasional. Di Jakarta saja kala sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang, pusingnya minta ampun. Apalagi di Roma.

Setelah bertemu, kami menuju mobil, lalu berangkat ke rumah. Kami menikmati perjalanan ini. Rasanya lega. Pastor Stradiotto berbincang-bincang dengan kami dalam bahasa Indonesia. Sedangkan, Pastor Marco bertanya dalam bahasa Inggris. Sekitar 1 jam kemudian, kami tiba di rumah kami di luar tembok Vatikan, negara terkecil di dunia itu.

Roma sedang musim panas. Kami merasakan panasnya ini. Saat tiba, kami disambut dengan hangat oleh para pastor dan suster Xaverian di rumah jenderalat ini. Kami senang sudah tiba di Roma. Pastor Marco sebagai kepala rumah mengantar kami ke kamar masing-masing. Kamar di lantai paling atas di rumah ini. Lantai ke-5 kalau dihitung dari dasar rumah ini. Setelah masuk kamar, kami istirahat sejenak, kemudian turun untuk makan siang. Makan siang jam 12. Di sinilah untuk pertama kalinya saya makan makanan Italia, langsung dari sumbernya hahaha. Pastor Stradiotto makan satu meja dengan kami biar bisa komunikasi dalam bahasa Indonesia. Para pastor lainnya di meja yang lain.

pemandangan dari jendela kamar,
tembok Vatikan, foto, dok pribadi

Sore hari, Pastor Stradiotto memanggil kami ke ruang kerjanya untuk berbicang-bincang dengan keluarga di Indonesia melalui skype. Senang rasanya bicara dengan mereka. Setelahnya kami istirahat sebentar sebelum mulai kunjungan ke sana ke mari di kota Roma dan Vatikan. Akan saya ceritakan kemudian. (bersambung)

Parma, 30/1/2014
Gordi


Dari Ataturk-Istanbul ke Leonardo Da Vinci-Fiumicino-Roma

bandara di Roma, gambar dari google
Beda dengan penerbangan Jakarta-Istanbul yang menggunakan Airbus A330, perjalanan ke Roma dari Istanbul menggunakan pesawat berukuran lebih kecil, A321. Bagian dalamnya jelas lebih kecil pula. Di pesawat A330, ada 2 lorong dan 3 bagian kursi penumpang. Kiri ada 1 bagian dengan 2 kursi, tengah 1 bagian dengan 4 kursi penumpang, dan kanan ada 1 bagian dengan 2 kursi. Total ada 8 kursi. Di pesawat yang kami tumpangi ke Roma hanya ada 2 bagian penumpang masing-masing terdiri dari 3 kursi. Total ada 6 kursi. Jadi, bisa dibayangkan lebarnya badan pesawat.

maskapi Italia, Alitalia di bandara Roma, gambar dari google
Tetapi, badannya boleh kecil, pelayanannya tetap besar (sepenuh hati) seperti di pesawat sebelumnya. Maskapinya memang sama hanya pesawatnya saja yang beda. Kami dapat jatah makan sekali dalam perjalanan ini. Kami disuguhi makanan hamburger, makanan dari Jerman yang kemudian menjadi terkenal di Amerika dan seluruh dunia termasuk Indonesia. Saya juga memilih minum jus daripada aqua atau coca-cola. Bule Afro-Amerika ini makannya cepat. Mungkin karena biasa makan hamburger di negerinya. Dia lebih cepat dari kami.

Setelah makan, saya tidak tidur. Saya menikmati penerbangan yang singkat ini. Hanya 2 jam dan 40 menit. Beda waktu Italia dan Turki sekitar 2 jam tetapi mungkin menjadi 1 jam di musim panas. Kami tiba di Roma sekitar jam 10 waktu Roma. Jam saya masih menunjukkan jam Indonesia waktu kami tiba sehingga tidak bisa menjadi ukuran yang tepat. Saya mengecek jam di bandara.
model bandara di Roma, gambar dari google

Sayang sekali dalam perjalanan ini saya tidak sempat mengambil foto. Padahal pemandangan bagus dari Turki ke Roma. Lewat laut yang biru pemandangannya. Juga kala tiba di daratan Italia. Tampak hijau. Padahal saya bayangkan tidak ada atau sedikit saja pohon atau tumbuhan. Nyatanya tidak. Di sekitar bandara Roma saja banyak pohon hijaunya, saat itu. Tetapi ada juga bagian rumput yang tampak seperti terbakar musim panas. Maklum saat itu, Eropa sedang dalam musim panas.

Bandar Udara Fiumicino, gambar dari google
Di bandara Roma, ada pemandangan bagus. Saya mau berfoto di depan tulisan welcome  dan dalam bahasa Italianya Benvenuto dengan latar artis Italia, saya lupa namanya. Tetapi, tidak sempat. Sebab kami buru-buru. Turun dari pesawat, naik trem, ke ruang tunggu berikutnya, setelah melewati ruang imigrasi.

Perjalanan ini indah sekali. Namun melelahkan juga. Tetapi terima kasih Tuhan, kami sudah sampai di Roma setelah 15 atau 16 jam di udara dan 5 atau 6 jam di ruang tunggu. Kami belum sampai tujuan tetapi sudah mendarat. Kami mau menjumpai orang yang menjemput kami. Akan saya ceritakan di kisah selanjutnya. Kisah yang membuat kami hampir nyasar di bandara Leonardo Da Vinci-Fiumicino-Roma ini. (bersambung)

Parma, 8 Januari 2014




Pengalaman Menarik di Ataturck Airport, Istanbul

Bandara Ataturck, gambar dari google
Kami tiba di Bandara Internasional Istanbul-Turki pagi hari jam 6.10 waktu setempat. Nama bandaranya adalah Ataturck Airport. Kami tiba di terminal 1. Bandara besar berlevel internasional. Tempat bertemunya para penumpang dari beberapa benua. Asia, Eropa, Afrika, juga Australia. Saya tidak tahu apakah Amerika juga. Saya yakin YA. Sebab di sini, sebelum kami menemukan pos tunggu terakhir, Fonsi dan saya berbincang-bincang dengan seorang pemuda Afro-Amerika. Dia orang Chichago—kalau tidak salah ingat—dan mau ke Roma untuk jalan-jalan.

Kami keluar dari pesawat menuju pos-pos berikutnya. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari toilet. Saya yang duluan dan Fonsi menjaga tas dan koper saya di luar toliet. Gila, bagian bandara ini banyak. Tiap pos ada toilet, dan ruang informasi. Toiletnya juga bersih. Ya namanya bandara internasional. Seperti toilet di bandara Soe-Hat Cengkareng, atau bandara Adisucipto-Yogyakarta. Tidak saja bersih tapi juga wangi.

suasana dalam pesawat,
gambar dari google
Setelah membuang segala kepenatan, kami menuju ruangan pemeriksaan. Semua penumpang melewati bagian ini. Baik penumpang yang turun maupun yang transit seperti kami. Di sinilah indra harus peka. Ke pos mana saya akan pergi. Ada banyak pos, lengkap dengan keterangan. Cek petunjuk di tiket atau tanya ke ruang informasi, tunjukkan tiket asli jika masih bingung. Kami beruntung tidak terlalu rumit karena mudah menemukan petunjuk. Kami masuk ruangan ini dengan sedikit gemetar di jantung. Jangan-jangan kami ditahan—khususnya Fonsi—seperti yang kami alami di Cengkareng. Rupanya tidak. Kami lewat tanpa dicegat setelah ikat pinggang, jaket, tas saku, dilepas. Untunglah sepatu tidak dilepas seperti di Singapura dan Cengkareng.
pesawat turkish airlines,
gambar dari google

Dari pos ini kami melewati beberapa pos lainnya dengan lancar. Jalan lurus, belok kanan lalu kiri, lurus lagi, dan sebagainya. Juga naik tangga dan kemudian turun di ruangan pertama. Itu saja gambaran petunjuknya. Hanya untuk menemukan ini kadang-kadang sulit. Fonsi sekali bertanya ke tukang jualan dalam bandara tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lalu saya minta dia mengikuti petunjuk yang tertulis dalam layar monitor. Dari situ, Fonsi tanya lagi ke petugas informasi dan mendapatkan informasi akurat. Kami harus turun menuju bagian yang tertera dalam layar petunjuk. Dan kami menemukan pos ini.

Di sinilah, kami berjumpa orang Amerika tadi. Kami berbincang-bincang dengannya. Fonsi yang memulai pembicaraan dengannya dalam bahasa Inggris. Dia juga menuju Roma. Dan kami sama-sama cek tiket. Rupanya satu pesawat dan satu grup tempat duduk. Saya dan Fonsi kemudian menyerahkan tiket dan pasport-visa untuk dicek di bagian imigrasi bandara. Ada pengalaman yang menurut saya lucu di bagian ini.
masuk di ruang pemeriksaan,
gambar dari google

Saya meledek petugas yang memeriksa tiket saya. Dia memang tampak serem, meledek semua penumpang. Lama dia meledek saya. Beda dengan penumpang lainnya yang diledek sebentar saja. Saya boleh emnduga penyebabnya. Dia mungkin merasa aneh karena antara foto saya di pasport dan di visa ada perbedaan. Apalagi melihat muka saya yang baru bangun dari tidur dan kusut kedinginan dalam pesawat. Tetapi akhirnya tiket saya juga dicap.

Kemudian kami duduk selama hampir 2 jam di pos ini. Saya melihat banyak orang yang menuju Roma dengan maskapi Turkish Airlines. Maskapi ini rupanya maskapi besar dan berlevel internasional. Saya menengok keluar dari ruang tunggu. Mayoritas pesawat yang transist di sini berlogo Turkish Airlines. Makin lama kami duduk, makin banyak barisan antrian ke bagian pengecekan tiket. Ini berarti makin banyak penumpang yang datang dan akan pergi ke Roma. Di pos lain juga banyak antrian. Tiap pos punya tempat pengecekan tiket.
monitor infromasi, gambar dari google

Kami berangkat dari Istanbul dengan pesawat bertipe Airbus A321. Sebelum naik pesawat, petugas membukakan pintu dan mengecek tiket para penumpang di pintu keluar, kemudian kami naik bis. Bis besar seperti yang dimiliki maskapi nasional di Indonesia, Garuda, Lion Air, dan sebagainya. Bagaimana perjalanan ke Roma? (bersambung)

Parma, 8 Januari 2014
Gordi


11 Jam dalam Pesawat

model kursi dalam pesawat. Foto, Gordi
Sebelas jam? Woao lama sekali. Di atas bis saja bisa capek duduk selama itu. Tetapi memang beda, duduk di atas bis dan pesawat. Getarannya beda banget. Kalau dalam bis terasa getarannya. Sedangkan di pesawat, hampir tidak terasa. Inilah yang kami rasakan dalam perjalanan dari Singapura ke Turki, Istanbul.

Sebelas jam. Hampir tidak terasa. Fonsi berujar, “Wah gelap terus. Kapan paginya?” Penerbangan ini memang penerbangan malam hari. Dari Singapura saja, kami berangkat malam, sekitar jam 9 atau 10 WIB. Dan sepanjang sebelas jam itu, terasa malam terus sampai di Turki. Beda waktu Singapura dan Turki 5 jam. Jadi, wajar jika rasanya seperti malam terus. Dari malam ke malam.

Fonsi tersenyum melihat film,
foto Gordi
Kami makan 2 kali dalam perjalanan antara Jakarta-Istanbul. Makanannya enak sekali. Tetapi yang lebih diingat adalah kami tidak makan nasi lagi. Saya mulai mencicipi daging, roti, dan kue yang enak tentunya. Saya juga memilih jus lemon sebagai minumannya. Saya minum sedikit air. Biar tidak sering ke toilet. Dan memang saya tidak pernah ke toilet. Air yang saya minum rupanya cukup untuk pembakaran dalam tubuh. Tidak ada sisanya. Di Istanbul baru buang air kecil.

Di Istanbul juga kami mulai berbahasa Inggris. Dalam pesawat tadi sudah mulai. Hanya saja belum selancar waktu di Turki. Di pesawat hanya ngomong satu dua kalimat saja. Yang lainnya pakai tangan saja. Tunjuk. Di Turki juga hanya Fonsi yang sering tanya ke sana kemari pakai bahasa Inggris. Saya sendiri tidak banyak bicara. Saya mengikuti petunjuk dalam tiket. Dan tidak perlu banyak tanya ke sana kemari. Saya tahu malu bertanya sesat di jalan. Tetapi, saya sudah tahu jalannya, rutenya, sehingga tidak perlu bertanya.

Penulis serius melihat rute pesawat, foto Gordi
Tetapi saya salut dengan Fonsi. Dia memang orangnya dikuasai rasa khawatir. Dia tidak yakin dengan penjelasan saya sehingga harus ke sana kemari. Saat itulah dia rupanya bisa mempraktikkan bahasa Inggris dengan leluasa. Dalam hal ini saya rugi.

Ngomong-ngomong dalam pesawat selama 11 jam ini, saya banyak tidurnya. Bangun, makan, lalu tidur lagi. Tidak suka tonton film. Fonsi kadang-kadang menonton. Saya buka layar hanya untuk cek berapa jam lagi tiba, suhu, dan waktu saja. Juga rute pesawat. Itu saja.

Enak juga yah duduk dalam kursi pesawat ini. Dua kali dibagikan kain yang direndam air hangat. Rasanya pas banget. Sebab, suhu dalam pesawat dingin sekali. Dan kain itu bisa ditempelkan di tangan atau hidung atau muka biar hangat. Setelahnya petugas yang membagi kain itu datang lagi dan mengumpulkan kain itu. Tetapi ngomong-ngomong, bagaimana suasana di bandara Turki? Apa nama bandaranya ? (bersambung)

Parma, 26 Oktober 2013
Gordi

Sebelumnya Dari Indonesia ke Italia 7


Diberdayakan oleh Blogger.