Halloween party ideas 2015

FOTO, cefaluweb.com
Tepat jam 12.45, kami pulang ke Parma. Teman saya menyetir mobil. Bapak-ibu dan adik teman saya, berpamitan dengan kami. Ibunya bilang kapan-kapan mampir ke sini lagi. Lalu, mereka berpesan untuk hati-hati di jalan. Teman saya tentu tidak kantuk. Baru saja minum kopi. Saya malah kantuk.

Kami melewati kota Milan untuk sampai pada jalan tol. Rasa kantuk saya hilang melihat gemerlapnya kota ini. Kota modern di Italia ini. Di jalan tol, kami dihadang kabut tebal. Jarak pandangan hanya 3-5 meter saja. Hanya ada 2 mobil besar bersama kami dalam perjalanan ini. Satunya di depan, lainnya di belakang. Kami tidak bisa melewati mereka karena suasananya gelap sekali. Kabut di dekat sungai Po, salah satu sungai terbesar di Italia, membuat kami harus berjalan pelan. Tetapi, teman saya menargetkan perjalanan ini tidak boleh lebih dari dua jam.

Teman saya juga berpesan kalau saya ngantuk, boleh tidur saja. Saya memutuskan untuk tidak tidur meski mulai kantuk. Bukan karena saya tidak percaya padanya tetapi saya mau menemaninya. Makanya, kami bercerita juga untuk menghilang kantuk dan menyegarkan otak. Setelah lewat sungai Po, suasananya mulai terang kembali. Kami meninggalkan dua mobil besar tadi. Kami berjalan cepat hingga tak terasa kami sudah tiba di Parma. Keluar dari tol dan segera ke alamat rumah kami. Jalananan lancar. Kami tiba jam 2.45. Tepat dua jam. Benar kata teman saya. Tentu dia sudah sering melewati jalan ini. Itulah sebabnya dia sudah targetkan.

Terima kasih teman. Terima kasih untuk keluarga, bapak-ibu, adik, kakek dan nenek, serta sahabat. Perjumpaan hari ini sungguh berarti. Kenangannya akan selalu diingat. Kelak, suatu ketika kita bertemu kembali. Hari ini saya bukan saja melihat megah dan ramainya bandara Malpensa di kota Milan, tetapi juga melihat dan bertemu keluarga teman saya. Perjumpaan dengan keluarga inilah yang amat penting dan berkesan sekali. Tiga teman kami mungkin masih dalam perjalanan, atau masih dalam pesawat. Untuk kalian, saya ucapkan selamat jalan, selamat sampai tujuan. (habis)

Parma, 14/5/15
Gordi

FOTO, lacenarestaurant.com
Pintu gerbang sudah terbuka. Teman saya mengarahkan mobil ke situ. Tibalah kami di rumahnya. Saya belum tahu bagaimana posisi rumah ini. Ada beberapa pintu yang bisa saya lihat. Saya juga tidak bergegas bertanya. Kami turun dari mobil. Ibu dari teman saya memeluk kami. Pelukan adalah tanda cinta. Ibu teman saya ini mencintai kami. Kalau dia memeluk anaknya itu sudah pasti. Rupanya dia juga memeluk saya meskipun kami baru bertemu. Bagi dia, saya juga adalah anaknya. Saya dan anaknya memang tinggal bersama di kota Parma. Dan karena itu, dia anggap saya juga adalah bagian dari keluarganya. Saya senang karena saya diterima dengan cinta yang tulus. Seperti cinta seorang ibu pada anaknya. 

Di hadapan kami satu pintu terbuka lagi. Rupanya itu adalah pintu pabrik mebel ayah teman saya. Di depan pintu, ayahnya sudah menunggu. Selain dia, ada satu orang karyawannya. Mereka rupanya baru selesai bekerja. Mereka mengakhiri pekerjaan hari ini. Ayahnya senang melihat kami. Dia juga memeluk kami berdua. Wah…saya rupanya dicintai dan diterima oleh keluarga ini.

Teman saya memperkenalkan saya kepada orang tuanya. Mereka mengerti saya orang asing yang baru saja selesai belajar bahasa Italia. Tetapi, bahasa tidak menjadi kendala. Toh, di antara kami ada bahasa cinta. Cinta inilah yang menggerakkan bapak dan ibu teman saya mendidik anaknya. Dan, hari ini cinta itu pula yang mewarnai keseharian mereka. Bapak rupanya sedang menyelesaikan pesanan ribuan unit perlengkapan kamar mandi dari sebuah hotel di London. Perlengkapan yang dimaksud adalah lemari kecil, tempat menyimpan perlengkapan mandi seperti sabun, sisir rambut, cermin, sabun dan sampo, pencukur, lampu kamar mandi, keran, dan sebagainya. Di Eropa ini rupanya perlengkapan mandi ini tidak sederhana. Hari-hari ini bapaknya bekerja ekstra. Kadang-kadang sampai jam 9 malam. Apalagi siang panjang. Tetapi untuk hari ini, dia berhenti jam 6 sore. Karena pekerjaan ini, dia minta anaknya tinggal sebentar di rumah untuk bantu bapak. Mumpung kuliah selesai. Tapi, setelah dia mendengar rencana anaknya untuk pergi belajar ke London, dia pun merelakannya pergi.

Dari ruang kerja ini, kami masuk rumah. Saya melihat keindahan rumah ini. Memang, rumah ini adalah rumah sang arsitek atau pekerja mebel. Tidak jarang kalau keindahan diperhatikan betul-betul. Sang bapak sendiri yang merancang model rumah dan kamar di dalamnya. Dua lantai dan beberapa kamar.

“Ini kamar Alessio dan Francesca waktu mereka kecil,”katanya menjelaskan pada saya sambil kami memasuki kamar itu. Di kamar itu rupanya teman saya menghabiskan masa kecilnya bersama sang kakak. Kamar itu sekarang ditempati adik teman saya yang sedang menempuh SMA. Kamarnya bagus, rapi, asyik, lengkap dengan kamar mandi, komputer, meja belajar, dan sebagainya.

Lalu kami melihat ke beberapa ruangan lainnya yang dia rancang. Indah sekali. Rumah ini memang indah bagian luar dan dalamnya. Di ruang tamu, ada beberapa gambar foto keluarga dan foto petualangan keluarga ini. Juga beberapa foto teman saya waktu kecil. Foto-foto ini mau menceritakan sejarah kehidupan mereka. Saat kami memerhatikan foto itu, kakak teman saya datang dengan suami dan anaknya. Wah tambah ramai. Anaknya senang sekali melihat teman saya. Keluarga ini rupanya bahagia. Suami dan istri berprofesi sebagai pengacara. Kami mulai berkenalan di situ dan bercerita. Anaknya bermain dengan teman saya.

Malam makin larut. Kami pun segera makan. Menu makan malam ini enak sekali. Ada ikan bakar kesukaan saya. Tentu saya tidak memesan untuk makan ikan bakar. Kebetulan itu yang disediakan. Saya makan itu dan rasanya enak sekali. Kebetulan saya juga hobi makan ikan bakar. Selain ikan, ada juga menu lainnya yang tak kalah enaknya. Dari ikan bakar, lalu diakhiri dengan buah-buahan. Ini menu normal. Plus kopi hangat setelah makan. Saya biasanya tidak minum kopi. Tapi, kali ini saya terima karena sudah ditawari. Toh, tidak banyak. Hanya segelas kecil saja. Untuk menyeimbangi pahitnya, saya tambah sesendok gula. Jadilah, rasanya enak sekali.

Setelah makan, kami lanjut bercerita. Kakak teman saya pamit duluan karena besok pagi berangkat kerja. Mereka berpamitan dengan kami. Tinggalah kami berlima, bapak-ibu, adik teman saya, ditambah kami berdua. Kami bercerita banyak hal. Supaya saling dengar, saya memilih untuk mendengar saja. Artinya, saya tidak melanjutkan bercerita sendiri dengan bapak teman saya. Saya memintanya untuk mendengar cerita teman saya saja. Dia setuju. Saat itulah teman saya menyampaikan unek-uneknya di hadapan orang tua dan adiknya. Unek-unek tentang masa depannya. Sebab, sebentar lagi dia ke London. Asyik juga rupanya mendengar satu orang bercerita. (bersambung)

Parma, 14/5/15

Gordi

FOTO, 7tara.com
Teman saya sudah memberitahukan pada bapak dan ibunya bahwa kami akan makan malam di rumah. Ibunya menelepon kami sewaktu kami masih di jalan. Teman saya meresponnya. Kami tidak langsung ke rumahnya. Kami singgah sebentar di rumah kakek dan neneknya. 

Kakeknya masih sehat. Begitu juga nenek. Setelah memarkir mobil di dekat rumah, kami pun menemui mereka. Rumah itu termasuk rumah tua di kompleks itu. Untuk mengubahnya pun perlu izin dari pemerintah. Katakan saja seperti bangunan bercagar budaya kalau di Indonesia.

Kakek dan neneknya senang sekali ketika kami tiba. Kami bersalaman. Kakeknya adalah pelukis. Dia pun membawa saya ke beberapa ruang koleksi lukisannya. Ada yang dia lukis sendiri. Ada pula lukisan hadiah temannya. Lukisan itu dia abdikan untuk teman-temannya. Dia tidak keliling dunia tetapi lukisannya tentang berbagai relalitas dunia. Teman-temannyalah yang menceritakan relalitas itu padanya.

Teman saya bercerita dengan sang nenek. Neneknya tentu kangen sekali bertemu cucu ini. Nenek ini seolah-olah tidak mau jauh dari cucunya. Padahal, sebentar lagi cucunya ini akan berangkat ke London untuk tugas belajar selama lebih kurang 5-6 bulan. Tetapi, tugas itu dilupakan sejenak. Mereka asyik bercerita.

Saya dan sang kakek berkeliling ke ruangan lukisan tadi. Dia menjelaskan semua lukisan yang ada. Saya hanya punya beberapa kesempatan untuk bertanya. Rupanya melukis adalah pekerjaan sampingannya. Atau lebih tepatnya, pekerjaan pensiunan. Dia menekuni bidang ini saat remaja dan saat tua. Pekerjaaan tetapnya adalah tukang kayu. Jangan sangka seperti tukang kayu seperti di Indonesia. Dia adalah bos mebel. Selain itu, kakek ini juga hobi memelihara bunga. Setelah bosan di dalam ruangan, kami berdua pun keluar. Kami bercerita di beranda rumah. Beranda yang penuh dengan kaleng bunga. Berwarna warni. Rupanya kakek ini banyak hobinya.

Ada yang menarik dari cerita sang kakek ini. Bukan isi ceritanya tetapi caranya bercerita. Saya baru saja selesai belajar bahasa Italia. Tentu, saya belum bisa dikatakan sudah selesai. Saya pun akan tetap melanjutkan. Istilahnya kelas formalnya selesai, tetapi kelas informalnya tetap berlanjut. Kakek ini rupanya bercerita dalam dialek Briansolo. Dialek yang saya pun tidak paham. Dia berbahasa Italia tetapi dengan dialek sana. Jadinya, saya hanya menerka-nerka saja beberapa kata yang sulit saya pahami.

Teman saya bertanya pada saya ketika kami berkumpul kembali di ruang cerita bersama nenek. “Apakah kamu mengerti saat dia (kakek) bercerita?” kata teman saya.
Saya menjawab, “Beberapa kata saya tidak paham.”
Teman saya tertawa. Lalu, dia melanjutkan, “Dia (kakek) bercerita dalam dialek Briansolo. Wajar kalau kamu tidak paham.”

Hemmm pantasan, gumamku dalam hati. Tetapi tak apa-apalah. Saya tidak paham tetapi saya senang bisa berbagi cerita, berbagi senyum, berbagi ekspresi dengannya.

Kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan ke rumah teman saya. Masih ada satu rumah lagi yang kami singgahi. Rumah kerabat teman saya. Di situ, kami bertemu keluarganya. Kami hanya sebentar saja. Minum jus dan makan kue tar. Lalu cerita sebentar, kemudian lanjutkan perjalanan lagi. Kerabat ini rupanya sahabat dekat teman saya. Semoga tetap dekat meski kami tinggal jauh darinya. Dalam doa saja kita saling dekat. Salam saling mendoakan. Kami akhirnya menuju rumah teman saya. (bersambung)

Parma, 14/5/15
Gordi

FOTO, isole24ore.com
Kami masuk ke ruang tunggu. Ketiga teman kami rupanya sudah masuk. Koper-koper sudah dibawa semua. Saat kami berdua tiba, mereka sedang mengecek ruang check-in. Belum mulai check-in. Mereka membereskan koper-koper mereka. Beberapa koper diberi pengaman seperti plastik berlapis. Ini untuk menghindari pencuri membuka-buka koper-koper ini. Tidak mahal bayarnya. Hanya 10-15 euro. Bahkan ada yang 5 euro. Tergantung dari besarnya koper. Tentu kalau dirupiahkan jadi mahal. Tapi, untuk harga euro, jumlah ini terjangkau. Lebih baik habiskan 5-10 euro asal keamanan terjamin.

Kami menunggu di ruang tunggu. Saya membantu menjaga beberapa koper. Sambil menunggu, kami membuatkan beberapa foto kenagan di sini. Satu di antara kami, tidak kembali lagi ke Italia. Dia bekerja di Burundi-Afrika. Dua lagi kembali ke Italia. Mereka bekerja di Italia. Rupanya bukan kami saja yang berfoto. Banyak orang membuat foto di tempat ini. Sekadar kenangan. Bahkan, ada yang foto di dekat papan iklan bergambar artis terkenal.

Ketiga teman kami siap-siap untuk check-in. Rupanya waktu check-in cukup lama. Jauh sebelum keberangkatan. Dipastikan bahwa tidak ada yang terlambat seperti pelayanan di kantor check-in maskapi Lion Air di Indonesia. Di sini, jauh sebelum keberangkatan, semua penumpang sudah siap. Teman kami pun siap-siap menuju ruang tunggu bagian dalam. Kami berdua juga siap-siap untuk kembali. Kami bersalaman sebelum berpisah. Kami mengantar kedua teman kami yang ke Afrika lebih dulu. Kami berhenti tepat di pintu masuk ruang tunggu bagian dalam. Lalu, kami mengantar teman kami yang ke Meksiko. Kami pun bergegas kembali ke Parma.

Rupanya teman saya yang orang Desio ini mau singgah di rumahnya. Saya dengan senang hati mengikutinya. Dia memang sudah memberitahukan bahwa, kami akan makan malam di rumahnya. Dan, memang kami kembali dari Malpensa lalu ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang inilah saya melihat sedikit kota Milan. Hanya beberapa bagiannya saja yang kami lewati. Tentu saya ingin melihat pusat kotanya. Juga bagian terkenalnya seperti gereja katedral yang katanya sebagai ikon kota Milan. Namun, lain kali saja. Kami lanjutkan perjalanan ke kota kecil, Desio atau tepatnya Briansolo. 

Kota ini adalah bagian dari kota Milan. Seperti bagian-bagian kecil, Pulo Mas, Cempaka Putih atau Pulo Gadung-nya Jakarta. Nah, Desio adalah bagian kecil dari Milan. Dan, Briansolo adalah bagian kecil di dalam kota Desio. Di situlah teman saya ini lahir dan bertumbuh. Seperti apakah sambutan keluarga teman saya ini? Menu apakah yang akan kami santap? Lanjut di cerita berikutnya.(bersambung)

Parma, 14/5/15
Gordi

Jalan masuk ke autostrada (jalan tol)
FOTO, milanotime.net
Saatnya tiba dan saya harus pergi. Saat itu, bulan Juni tahun 2014, saya menginjakkan kaki di kota impian ini. Saya menemani teman saya ke bandara internasional Malpensa, Milan. Teman saya yang orang Desio, Milan itu jadi sopir. Kami mengantar tiga teman kami yang berlibur. Satunya ke Meksiko, duanya ke Afrika (Kongo dan Burundi).

Saya ingat persis waktunya. Kami berangkat jam 2 sore. Butuh waktu dua jam untuk sampai di Malpensa. Kami lewat jalan tol (autostrada). Saya duduk sendiri di kursi belakang mobil. Dua teman duduk di bangku tengah. Satu lagi di depan bersama sopir. Saya sengaja memilih di ujung belakang supaya bisa tidur. Di belakang saya ada ruang kosong yang diisi dengan beberapa koper.

Mula-mula saya menikmati pemandangan dalam perjalanan ini. Melihat lalu lalangnya mobil di tol. Ada yang kecepatannya melebihi kecepatan mobil kami. Ada pula yang kurang. Menariknya, semua sudah di atur menurut jalurnya. Jalur A hanya untuk mendahului. Jalur B yang setengah cepat. Jalur C yang lambat sekali. Jadi, kalau rasa-rasanya capek, masuk saja di jalur C yang paling pinggir. Tidak buru-buru. Kalau mau lebih santai lagi masuk di jalur B. Kalau mau cepat sampai, masuk jalur A, kemudian ke jalur B. Sebab, jalur A hanya untuk mendahului. Dengan demikian jika ingin cepat sampai, lewati semua mobil yang ada di jalur B.

Lebih menarik lagi. Rupanya untuk setiap jalur ada batas kecepatannya. Jalur B misalnya dari 90-130. Jalur C dari 60-80. Kalau saya tidak salah ingat. Anggap saja ini hanya contoh. Saya sendiri tidak hafal persis peraturan kecepatannya. Kalau jadi sopir nanti, baru belajar.

Setelah bosan melihat pemandangan seperti ini, saya tertidur. Mata tertutup dan mulai terlelap. Kaca jendela ditutup semua. Kami menyalakan AC sehingga udara masih sejuk. Cocok untuk tidur. Saya pun tidur sampai dekat bandara. Saya sadar kala mobil kami masuk jalur yang salah. Sopir memberhentikan mobil sebentar sambil menanyakan petugas bandara. Dari situ, saya sadar. Saya pun bangun dan siap-siap untuk turun. Kami menurunkan barang-barang teman kami. Saya membantu menurunkan koper dari mobil. Lalu, mereka sendiri menunggu di situ, sambil satu atau dua orang masuk ruang tunggu untuk melihat loket check-in.

Mereka menunggu dan saya bersama sopir mencari tempat parkir. Tempat parkirnya luas tetapi mobil yang masuk juga banyak. Setelah berkeliling beberapa kali, kami menemukan tempat parkir di dekat pintu masuk tadi. Teman saya membayar sewa parkir. Kami antri barang 3 menit di loket parkir. Tiba giliran kami. Teman saya menekan beberapa tombol untuk memberitahukan pada mesin itu bahwa kami akan pakai lahan parkir sekitar sampai 2 jam. Lalu, dia masukkan uang dan keluarlah tiket parkir. Kami kembali ke mobil untuk menaruh tiket itu di dekat kaca depan mobil.


Tiket itu sebagai bukti bahwa kami membayar sewa parkir. Petugas parkir atau polisi biasanya datang ke setiap mobil dan mengecek tiket itu. Itulah sebabnya tiket itu mesti ditaruh di dekat kaca di dalam mobil dan bisa dilihat dari luar. Semua tempat parkir di Italia menggunakan cara seperti ini. Saya kurang tahu persis dengan parkir motor. Apakah kalau disimpan di dekat stir motor, kertas tiket itu tidak terbawa angin, atau dicuri orang? Tidak tahu. Soal mencuri tiket itu memang jarang terdengar. Maklum, semua orang wajib memiliki tiket parkir ini sebelum meninggalkan mobilnya di tempat parkir. Okelah kita tunggu aksi berikutnya. Tinggalkan masalah parkir.  (bersambung)

salah satu pemndangan di sekitar gereja katedral kota Milan
Ingin sekali melihat kota Milan. Kota ini masuk dalam kelompok kota bersejarah. Sejarah dunia dan sejarah gereja. Bukan hanya itu, Milan juga adalah kota tempat bernaungnya dua klub sepak bola terkenal yakni AC Milan dan Inter Milan.

Dari sepak bola ke dunia mode. Milan adalah kota mode terkenal di seluruh dunia. Saingannya adalah London dan Paris. Milan memang terkenal di seluruh dunia. Di Italia juga, Milan termasuk kota penting. Kalau Roma adalah ibu kota negara Italia, Milan adalah ibu kota Italia untuk bidang bisnis dan ekonomi. Jangan heran, jika orang Italia bilang, kami punya dua ibu kota. Ibu kota politik dan ibu kota ekonomi.

Saya tidak mengimpikan datang ke kota Milan. Maklum, tidak terlalu tertarik dengan klub Inter Milan dan AC Milan. Apalagi dunia mode juga jauh dari perhatianku. Saya tertarik dengan mode saat kuliah di Jakarta. Waktu itu, saya rajin baca koran KOMPAS hari Minggu. Di situ, ada beberapa halaman yang didedikasikan untuk mode. Saya teratrik membaca ulasan beberapa penulis di situ. Demikian juga di majalah mingguan TEMPO. Dari sinilah saya tahu sedikit tentang kota Milan ini.

Saya datang ke Italia tahun 2013 yang lalu. Saya hanya ingin melihat Roma. Dan memang, saya nginap satu minggu di Roma. Rupanya Milan juga adalah kota saingan dari Roma. Roma tentu saja terkenal dengan seni dan budayanya. Jumlah penduduk Roma juga lebih banyak dari Milan. Namun, Milan selalu ingin bersaing dengan Roma. Milan masuk kota modern terutama karena model kotanya. Banyak bangunan modern ketimbang bangunan berarsitek lama.

Setelah setahun di Italia , niat untuk melihat Milan belum muncul juga. Toh saya bisa melihat dan mengunjunginya kapan saja saya mau. Saya sudah di Italia dan hanya butuh paling lama 2 jam dari kota Parma ke Milan. Meski tidak berniat, saya toh rupanya ingin ke Milan juga. Beberapa teman di Indonesia selalu bertanya, sudah ke Milan belum? Sudah ke stadion Milan belum? Sudah kunjung ke kota mode belum? Rasanya pertanyaan ini mendorong saya untuk melihat kota ini. Beberapa teman Italia juga bilang, belum cukup jika datang ke Italia namun belum berkunjung ke kota Milan. Tentu saja bukan hanya Milan, masih ada Venezia, Napoli, dan sebagainya. Untuk itu, saya juga ingin ke Milan. Tunggu saja kesempatan yang pas. (bersambung)

Parma, 14/5/15
Gordi

Tahun ini saya ke rumah Conforti lagi. Kali ini, bukan saja kami berlima, tetapi lebih banyak lagi. Bukan saja dengan satu mobil. Melainkan banyak mobil alias lebih dari satu. Satu bis besar berisi 60 orang plus beberapa mobil kecil berisi 9 dan 4 orang. Pokoknya banyak sekali kali ini ketimbang kami tahun lalu hanya berlima.




Nah, ada apa kok banyak begini? Ya, namanya ziarah. Namun, bukan ziarah saja, tetapi ziarah special. Ziarah dalam kaitan dengan ulang tahun Santo Guido Conforti yang ke 150. Hari ini, pada 30 Marte 1865 yang lalu, Conforti lahir. Itulah sebabnya kami mengenang dan mensyukuri kelahirannya ini. Dalam surat yang dikirim kepada para Xaverian, Pater Jenderal Luigi Menegazzo, SX di Roma, mengimbau untuk belajar dari Conforti. Belajar darinya berarti mengenal lebih dalam lagi tentang Conforti. Dia lalu menambahkan penekanan pada beberapa aspek. Conforti adalah orang yang sederhana. Anak desa memang kebanyakan sederhana. Conforti juga—lanjut Pater Luigi—adalah pendoa. Itulah sebabnya kami mengunjungi gereja tempat dia dibaptis. Selain itu, Conforti juga tahu mengatur jadwal hariannya.

di gereja paroki St Conforti
Kami berangkat pukul 10 pagi dari Parma. Dalam bus, Padre Pettenuso, SX memandu seperti guide kami. Dia juga memimpin doa rosario selama perjalanan. Kami ingin meniru Conforti yang adalah pendoa. Para Suster Xaverian juga ikut dalam kegiatan ini. Kami memang sama-sama lahir dari inspirasi Conforti.

Setelah 25 menit dalam perjalanan dari Parma, kami tiba di gereja parokinya Conforti. Di sana kami merayakan perayaan ekaristi. Padre Eugenio Pulcini, SX dari Roma memimpin perayaan ekaristi. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Conforti. Sekitar 30 menit dari gereja ini. Kami tiba agak lambat karena mobil besar ini harus pelan-pelan melewati jalan pedesaan yang kecil. Bukan kali ini saja mobil besar masuk di daerah ini. Dulu para peziarah dari Jepang juga menggunakan mobil besar seperti ini.

FOTO BARENG, foto saveriani.com
Setelah melewati hamparan datar yang luas dan mulai berbunga, kami tiba di rumah Conforti. Keluarga bersaudara dari Brescia menerima kami dengan ramah. Di sana, kami melihat kamar Conforti. Khusus untuk mereka yang baru datang pertama kali. Setelahnya, kami masuk di kapel dan berdoa di sana. Lalu, bagian terkahir adalah foto bersama. Bagian ini menarik. Padre Vito, SX mengambil banyak foto dalam perjalanan ini. saya hanya ambil beberapa saja.

Pukul 12, kami tiba kembali di Parma. Ah betapa peziarahan ini kali ini menyenangkan. Terima kasih untuk semua yang ikut dalam peziarahan ini. Santo Conforti, doakanlah kami.

PRM, 12 Mei 2015
Gordi

Borgo Leon d'Oro 12, FOTO, museocineseparma.org
Seperti sudah saya singgung sebelumnya, rumah pertama untuk putra-putra Conforti adalah rumah di Borgo Leon d’Oro 12. Jalan emas, demikian terjemahan bebas saya. Borgo sama artinya dengan via atau viale yang artinya jalan. Arti kata borgo dalam bahasa Italia adalah desa. Namun, di kota-kota nama jalan ditulis dengan borgo atau via, atau viale.

Rumah ini dibangun di jalan ini bukan tanpa maksud. Letaknya dekat dengan pusat kota. Pusat kota Parma saat itu adalah gereja katedral. Di dekat katedral ada rumah raja alias palazzo reale. Hampir semua kota tua di Italia ditata demikian. Di pusat kota ada perwakilan gereja dan kerajaan. Entah ini mungkin menggambarkan kuasa saat itu yang terlatak di tangan Paus atau Uskup (Gereja Katolik) dan Raja (Pemerintah).

Conforti saat itu bekerja di seminari dan juga di Keuskupan Parma. Kedua lembaga ini berdekatan. Dekat dengan duomo  alias gereja katedral. Kiranya, bisa diambil kesimpulan juga bahwa Conforti ingin dekat dengan anak-anaknya. Dia sebagai bapak dari keluarga yang baru saja dibentuknya ini mesti hadir dalam keluarga. Ia tidak membiarkan anak-anaknya bertumbuh tanpanya.

Rumah ini pelan-pelan tidak cocok lagi untuk rumah pendidikan bagi anak-anak Conforti. Jumlah mereka bertambah, kebutuhan akan rumah juga bertambah. Maka, Conforti menyiapkan pendirian bangunan baru bagi anak-anaknya. (lihat ulasan sebelumnya di sini). Rumah ini memang tidak digunakan lagi sebagai rumah pendidikan sejak saat itu. Conforti menjual rumah itu. Uangnya dipakai untuk membeli tanah dan membangun rumah baru.

Rumah bersejarah itu kini berubah jadi kantor bank. Kami berempat bersama Padre Ermano sempat melihat-lihat dari luar rumah ini. Di pintu tertulis nama bank itu. Kami ingin masuk namun pintu tertutup. Dibel tapi tidak direspons. Mungkin banknya tutup  pada hari itu. Hari itu memang hujan. Kami tiba di situ saat hujan gerimis. Entahlah kantor bank itu buka atau tutup saat hujan seperti ini. Kiranya tidak. Tapi mengapa kami tidak direspons? Mungkin belum saatnya. Seperti Conforti, kami memang tidak punya hak lagi untuk mengurus rumah itu. Rumah itu sudah dijual, sudah dipindahtangankan. Bukan milik kami lagi. Meski demikian, kami punya nilai sejarah atas rumah itu.

Terima kasih Padre Ermano untuk petualangan kali ini. Terima kasih sudah berbagi ilmu dengan kami dan menjadi guide kami selama beberapa kali pertemuan ini. Terima kasih sekali lagi.

Dari rumah ini, kami pulang. Melewati gereja katedral, rumah induk kongregasi suster Hati Kudus (Sacro Cuore) yang terletak di samping katedral, melewati biara para rahib Benediktin, juga dekat dengan katedral. Sampai jumpa di tulisan berikutnya tentang Parma. Petualangan kali ini ditutup sampai di sini. Terima kasih untuk pembaca. (habis)

PRM, 11/5/2015
Gordi

mendengar penjelasan Padre Ermano
Dari rumah Conforti, kami beranjak ke gereja tempat dia dibaptis. Conforti dibaptis pada hari lahirnya, 30 Maret 1865. Padre Ermano menjelaskan sedikit informasi tentang gereja ini sambil menyetir mobil Fiat Punto-nya. Ravadesse dan Casalora masih tampak seperti pagi sekali, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Parma memang sedang mendung. Ravadesse dan Casalora pun demikian.

Bejana baptis


Meski mendung, niat kami tidak suram. Maklum, kami sedang dilanda rasa ingin tahu. Ingin tahu tempat Conforti dibaptis. Rumah dan Kapel kecil sudah kami lihat. Tinggal gereja paroki.

Setelah menempuh lebih kurang 25 menit, kami tiba di gereja ini. Gereja ini didedikasikan untuk Santa Maria Tak Bernoda dan Santo Andreas Rasul. Nama aslinya dalam bahasa Italia ditulis demikian, La Chiesa della Purificazione di Maria Vergine e Sant’Andrea Apostolo. Padre Ermano memarkir mobil tepat di samping gereja. Gerbang gereja bagian depan masih tertutup. Kami masuk dari belakang.

Padre Ermano

Nama Conforti tertulis di sini
Patung Maria di kapel kecil di sisi kanan gereja
altar, lihat dari dekat pintu masuk gereja
ada reliqui Santo Conforti di sini
Gereja tampak dari depan
gereja tampak dari samping

Padre Ermano rupanya mempunyai kunci untuk masuk gereja ini. Dia dapatkan kunci ini saat ada momen besar yakni menjelang perayaan beato dan santo tahun 1996 dan 2011 yang lalu. Pastor paroki memberi satu kunci agar para peziarah dan para Xaverian yang ingin berdoa atau sekadar melihat gereja ini bisa masuk.

gereja tampak dari jalan raya

ruang gereja tampak dari meja altar
Dari pintu samping atau pintu belakang, kami masuk. Di dalam, Padre Ermano menjelaskan altar gereja, sedikit mengenal lukisan di dalam gereja, juga tempat baptis Conforti. Tempat baptis ini masih dirawat dengan baik hingga saat ini. Tentu bejana baptisnya sudah tua dan tidak bisa dipakai lagi. Tetapi, bejananya masih disimpan dengan baik. Lumayan sebagai bukti sejarah yang berharga.

Patung Santo Andreas di kapel kecil di sisi kiri gereja
Di dalam gereja, kami menemukan gambar Conforti dalam bentuk pembatas buku dan juga buku-buku tentang Conforti. Buku-buku itu diletakkan tepat di samping bejana baptis. Kiranya semua ini dimaksudkan agar para pengunjung mengenal sejarah Conforti.

Indonesia, Kamerun, Kongo dan Brasil
Setelah mendengar penjelasan dari Padre Ermano, kami berfoto-foto sebentar. Lalu, kami keluar melihat pemandangan indah di luar gereja. Suasana pagi masih mendung seperti sebelumnya. Tak lama kemudian, kami berangkat lagi. Kami kembali ke kota Parma. Melihat jejak rumah untuk para pelajar Xaverian pada tahun-tahun awal. Rumah yang dibangun oleh Conforti. Para pelajar waktu itu dibina langsung oleh Conforti yang sedang bertugas di seminari dan di keuskupan. Itulah sebabnya rumah itu terletak pas di pusat kota. Dekat dengan Keuskupan dan seminari. Akan saya ceritakan dalam tulisan berikutnya. (bersambung)

Parma, 7/5/15
Gordi
Diberdayakan oleh Blogger.