Halloween party ideas 2015

asyik mendengarkan seorang pembiacara
Mendengar dan berbiacara adalah dua kata yang muncul dalam pertemuan kami dari 22-25 Juni ini. 

Dalam setiap sesi, kedua kata ini muncul. Kami memang memilih untuk MENDENGAR dulu baru BICARA. Kami memulai evaluasi akhir tahun kami dengan mendengar.

Mendengar perjalanan pengalaman kehidupan kami selama setahun. Suka-duka dibagikan semua. Setiap orang diberi kesempatan untuk berbagi. Dari yang paling baru tiba di Italia sampai yang sudah lama sekali. Maklum, kami sebagian besar adalah orang asing. Kami asing makanya pasti pengalaman kami menarik.

Dalam sesi berbagi ini, kami hanya mendengar saja. Hanya satu yang berbiacara, yang lainnya mendengar. Kata MENDENGAR ini penting maknanya bagi kami. Saya kira aspek ini bukan saja penting dalam kegiatan ini tetapi dalam setiap kehidupan bermasyarakat. Maka, kalau ada keributan dalam sidang DPR—misalnya—boleh jadi itu terjadi karena tidak ada aspek ini.
Kami memang tidak diibaratkan dengan anggota DPR. Tetapi, kami membuat pertemuan seperti anggota DPR yang membuat rapati tu. Kalau mereka ribut, kami tidak. Kami saling dengar.

Kami merasa, kami harus mendegar dulu baru kami biacara. Dan memang, sejak hari kedua, kami mulai bicara. Mengevaluasi perjalan kami. Mencari jalan terbaik untuk program kehidupan kami. Mencari cara terbaik agar studi kami berjalan lancar. Di sini ada debat, diskusi kelompok, dan laporan hasil diskusi.

Terima kasih untuk teman-teman semua. Saya mendengar, kalian berbiacara. Saya berbiacara kalian mendengar. Indahnya mendengarkan orang yang berbiacara. Mendengar menghalangi orang biacara ceroboh. Bahkan menghilangkan rasa ngantuk dalam sidang, apalagi sidang paripurna.

Desio-Milan 23//6/15
Gordi

Anak muda ibarat tenaga muda. Tenaga muda ibarat penuh semangat. 

Ini benar. Sore ini, Rabu, 24 Juni 2015, kami berkunjung ke Paroki St Maria de Lourd, Lisone-Desio-Milano. Sahabat kami, Alessio, berasal dari paroki ini. Di sana, kami bertemu dengan anak-anak muda dari paroki. Kami membuat pertemuan singkat dengan mereka.

Mereka adalah anak-anak SMA dan beberapa sudah mulai kuliah. Usia mereka berkisar dari 17-19 tahun. Mereka memang bertenaga muda dan bersemangat muda. Mereka menjadi aktivis di paroki. Mengajar agama untuk adik-adik yang masih kecil. Membuat kegiatan di gereja dan masyarakat selama liburan musim panas. Hari-hari ini mereka sedang membuat peket kegiatan ini bersama anak-anak SD dan SMP dari beberapa paroki sekitar.

Saya puji semangat mereka. Di tengah modernya kota Milan, yang penuh dengan nilai modern juga, mereka rupanya tidak lupa membina sikap dan mental adik-adik mereka. Boleh jadi nilai kehidupan modern akan memengaruhi perkembangan mereka dan adik-adik mereka, tetapi mereka rupanya ingin mencegah hal itu pada adik-adik mereka. Mereka tahu masa itu akan datang dan mereka tahu pula cara menghadapinya.

Mereka boleh saja memilih untuk tidak memperkarsai kegiatan itu. Toh, itu urusan gereja dan masyarakat. Tetapi ini tidak berlaku bagi 30-an lebih anak muda ini. Mereka justru memilih untuk mengabdikan sebagian dari waktu liburan untuk membiana adik-adik mereka. Mereka lakukan kegiatan ini dengan semangat mereka yang juga masih muda.

Dengan semangat muda ini juga, kami memberikan semangat pada mereka dalam pertemuan yang berlangsung 1,5 jam ini. Pengaruh semangat muda, kami pun ikut bernyanyi dan berjoget bersama. Dipandu oleh dua teman kami, Andres dan Tresor, serta grup pemusik lainnya. Mereka semangat bernyanyi dan berjoget. Setelah senang dan semangat berjoget, kami lanjutkan dengan tanya jawab. Tanya jawab tentang kehidupan.

Salah satu topik menarik adalah tentang pilihan. Memilih satu kegiatan adalah sebuah pilihan. Pilih terlibat atau tidak. Mereka kiranya sudah memilih untuk terlibat. Memilih jalan kehidupan juga adalah sebuah pilihan. Jalan kuliah atau jalan langsung kerja. Dalam setiap pilihan, selalu ada kebimbangan dan kekecewaan. Tapi, kalau jalan pilihan itu benar, kekecewaan itu akan berakhir dengan kesenangan. Kesenangan yang mendalam akan menjadi kebahagiaan sepanjang hidup.

Terima kasih teman-teman muda. Kami pulang ke Desio. Kami tunggu kalian di Parma. Sampai jumpa.

Desio-Milan 23//6/15
Gordi

Menunggu pizza
Di kota Parma, ada warung makan yang menyediakan banyak jenis makanan. Bahkan setiap jenis makanan juga dengan banyak porsi. Harga makanan tidak tergantung pada jenis dan jumlah porsi. Harga untuk semua jenis dan porsi sama yakni 8 euro. Warung ini milik orang Cina. Saya belum pernah makan di sana tetapi saya berkali-kali mendengar cerita tentang warung ini. 

Di Desio-Milan, kami juga masuk warung seperti ini. Hanya saja di sini hanya ada pizza. Maka, warung ini lebih tepatnya disebut pizzeria (tempat jual pizza). Hanya pizza tetapi dengan banyak jenis. Harganya hanya 12 euro untuk pizza dan segelas bir.

Dengan harga ini, kami bisa makan beberapa porsi pizza dan beberapa jenis pizza. Saya misalnya makan 6 porsi dengan 4 jenis yang berbeda. Ada pizza Margarita, pizza-funghi, pizza-mozzarela, pizza-patati, dan seterusnya. Teman saya makan 8 porsi dan teman yang satu lagi makan 11 porsi. Kami minum segelas besar bir. Harganya sama, 12 euro.

Pizzeria ini sama dengan warung yang di Parma itu. Saya menamakan warung makan seperti ini sebagai warung kenyang dan senang. Maksudnya, kita bisa makan sampai kenyang tanpa memikirkan biaya seiap jenis makanan. Kekenyangan ini membawa kita pada kesenangan. Orang kenyang biasanya cari senang. Dan, kesenangan ini bukan saja milik pengunjung warung. Pengelola dan pelayan warung kiranya juga senang jika pengunjung atau pelanggannya kenyang. Jadi, kalau mau dialog antara pengelola dan pengunjung di warung ini, rangkum saja dengan satu kalimat, KALIAN KENYANG, KAMI SENANG.

Memang kami kenyang sekali. Kami pulang ke rumah dengan senang juga. Tiba di rumah pukul 22.00. Saya membaca buku sebentar, berdoa, lalu tidur. Temili warung kiranya senang. Kami saja berjumlah 28 orang. Memenuhi satu meja panjang. Bayarannya 336 euro. Belum lagi pengunjung lainnya di dekat kami yang jumlahnya juga hampir sama dengan kami. Memenuhi meja panjang seperti kami. Tambah lagi dengan pengunjung lain di meja-meja kecil berjumlah 4 sampai 8 orang. Berapa ya pendapatan rata-rata setiap hari dari warung ini?

Tidak penting untuk ditebak. Yang penting, PENGUNJUNG KENYANG, PELAYAN SENANG.

Desio-Milan 23//6/15
Gordi

RS Niguarda-kota Milan
Orang sakit biasanya lebih banyak diam. Tetapi, pikirannya bekerja, bisa melayang ke mana-mana. Mereka tampak tidak melakukan apa-apa tetapi sebenarnya dia bekerja dalam diam. Mereka tampak sepi secara fisik apalagi kalau tinggal sendiri terus di kamar. Itu sebabnya kalau ada pengunjung, mereka pasti senang. Kalau sedang semangatnya, mereka pasti biacara banyak hal. 

Itulah yang kami rasakan hari ini, Selasa 23 Juni 2015 di kota Milan, Italy. Kami mengunjungi sahabat kami, Padre Virginio yang sedang berbaring di Rumah Sakit Niguarda, di kota Milan. Kami datang menjenguknya dari kota kecil Desio, sekitar 25 km dari Milan.

Kami berangkat setelah makan siang. Ini jam tidur saya sebenarnya tetapi saya pikir kunjungan untuk sahabat ini lebih berharga daripada tidur. Saya lebih cenderung mengutamakan kunjugan seperti ini. Waktu tidur biasa diganti tetapi kunjungan untuk orang sakit tidak bisa diganti. Maksudnya, orang sakit biasanya membutuhkan kunjungan tepat pada saat dia sakit. Inilah saat yang dia butuhkan. Kalau sehat, dia tidak merasa membutuhkan untuk dikunjungi meski tentu saja bisa dikunjungi. Kunjungan saat dibutuhkan dan kunjungan biasa memang beda sekali.

Saya beruntung bertemu dengannya hari ini. Di rumah sakit yang besar ini, kami bercanda dengannya. Kami, sahabatnya, yang muda-muda ini merasa sudah akrab dengannya. Padahal, saya sendiri baru mengenalnya hari ini. Mungkin bertemu sebelumnya, tetapi saya tidak kenal akrab seperti ini. Saya menyapanya dalam bahasa Kiswaili, bahasa yang dia gunakan di tempat dia bekerja, di Republik Demokratik Kongo, Afrika. Jambo padiri, sapa saya. Dia menjawabnya dengan nada semangat, jambo sana. Artinya seperti hai-hallo-ciao padre.

Dia langsung tanya saya, apakah kamu dari Kongo? Dia tentu heran, dari warna kulit, tampak saya bukan orang Kongo. Saya jawab bahwa saya hanya kenal sapaan ini dalam bahasa Kiswaili. Dia tertawa. Pertanyaan dan tawanya rupanya menandakan bahwa dia tidak sedang sakit. Memang dia tidak sakit. Dia bercerita panjang lebar pada kami. Dia sampaikan keinginannya untuk bekerja kembali di Kongo. Sayang kesehatan fisiknya terganggu. Ada sedikit masalah yang membuatnya—suatu ketika—tidak bisa bergerak. Seperti struk. Sebagian tubuhnya tidak bisa bergerak. Sama sekali tidak berfungsi dengan baik.

Meski fisiknya masih sakit, jiwanya sehat. Dia bercerita dengan semangat termasuk menceritakan kronologi sakitnya. Otaknya masih mampu berpikir termasuk menjawab pertanyaan kami. Sekarang, kakinya sudah mulai bergerak. Demikian juga sebagian dari tangannya. Bicara sudah lancar. Hanya saja masih dirawat karena masih butuh bantuan dokter serta fisioterapi agar penyembuhan totalnya cepat.

Setelah bicara panjang lebar dengannya, kami pamit. Dia senang, kami mengunjunginya. Dia memang jarang sendiri—katanya. Saat kami bicara dengannya, banyak juga tamu yang datang menjenguknya. Katanya, saya tidak sendiri di sini. Ada saudari saya, keponakan, dokter, perawat, dan pengunjung lainnya. Lalu, saya menyalaminya sebelum pamit, “Padre, kamu tidak sendiri, kami juga bersamamu dalam penderitaan ini.”
Dia tersenyum dan menjawab, “Terima kasih anak muda.”

Saya salut dengan padre ini. Dia memang sakit tetai tampak sekali dia punya keinginan untuk sembuh. Dia berharap agar segera sembuh dan kembali bekerja normal. Saya beruntung bertemu dengannya hari ini. Saya tidak merasa rugi. Saya tinggalkan jam tidur saya. Tetapi, saya bisa tidur di mobil dalam perjalanan pergi dan pulang. Kalau dijumlahkan kira-kira 30 menit.

Saya kira rugi padahal untung. Membuang waktu sebenarnya menerima waktu. Dalam hal ini, logika untung-rugi betul-betul dibalik. Ini memang bukan bisnis. Ini soal kehidupan dan kepekaan sosial. Maka, pakailah logika untung-rugi dalam kehidupan dan jangan pakai logika untung-rugi ala dunia bisnis.

Desio-Milan 23//6/15
Gordi

Para Pengelana Jalan Tol di marca.com 
Berkelana ke Spanyol tanpa menginjakkan kaki di Spanyol. Inilah yang kami buat sore ini. Tepatnya, kami berkelana di jalanan. Tidak menginjakkan kaki di Spanyol.

Teman saya membuka laptop dalam perjalanan. Kami sedang menyusuri tol A1 jurusan Milan. Dia tanya saya, apakah bisa buka internet di tol. Saya dalam kondisi ngantuk menjawabnya YA. Bahkan, saya meyakinkannya.

Dia pun penasaran. Dia buka laptop. Lalu, langsung buka google. Google terbaca. Rupanya dia yakin bahwa ada sinyal internet di tol. Saya juga ikut meyakinkannya. Lalu, dia mengetik situs marca.com. Situs ini adalah situs salah satu koran di Spanyol. Tahu-tahunya situs ini tida terbaca. Ada tulisan off-line. Rupanya memang tidak ada koneksi internet di jalan tol.

Ah kami sudah berkelana di Spanyol. Saya tertawa dan dia juga tertawa. Kami menertawakan diri kami sendiri. Kami bodoh dan membodohi diri kami sendiri. Mana mungkin ada wi-fi gratis di jalan tol? Saya salah tetapi seolah-olah tidak merasa bersalah. Saya malah tertawa. Menertawakan diriku yang menipu teman saya dan juga menertawakan kebodohan teman saya. Mau-maunya dia ikut dibodohi oleh aku ini? Teganya saya membodohinya. Tentu kami sama-sama tertawa. Tepatnya menertawakan diri kami sendiri.

Tertawa ini bukan keanehan. Kami tertawa karena kami merasa ada yang lucu. Kami tertawa bukan karena kami orang gila. Bukan. Kami tertawa karena kami tahu kebodohan kami. Orang bodoh kok menertawai kebodohannya. Kami bukan orang bodoh. Kami hanya membodohi diri kami sendiri.

Bagi kami, tertawa adalah obat mujarab untuk menghilangkan rasa bosan dalam perjalanan. Dengan tertawa, kami juga merasa kami diberi semangat baru. Perjalanan ini tidak sekadar berpindah tempat. Perjalanan ini indah sekali. Maka, kami tertawa karena bisa menikmati indahnya perjalanan ini. Kami tidak jadi ke Spanyol tetapi kami sudah berkelana ke sana. Andai marca.com terakses, kami sudah ke sana.

Desio-Milan 22/6/15
Gordi

tidur nyenyak (tanpa bantal)
dalam pelukan sang ibu
Tidur dengan bantal memang asyik tetapi lebih asyik juga tidur tanpa bantal. Dengan bantal guling misalnya tidur terasa nyaman. Tetapi, cukup dengan bantal alas kepala juga tetap asyik. Tetapi tidur tanpa bantal tetap tak kalah menariknya.

Saya tidur tanpa bantal dari Parma ke Milan. Kok bisa? Ya bisa. Tidur di jalan tentu saja. Maklum, kalau tanpa bantal. Tentu saya bisa bawa bantal di mobil tapi saya memilih untuk tidak membawa bantal. Asyik juga lho tidur tanpa bantal. Itulah yang saya rasakan dalam perjalanan pada Senin, 22 Juni 2015 yang lalu.

Saat itu, kami berangkat pukul 14.30 dari Parma. Karena ada yang lupa menutup jendela kamar, kami menunda sedikit waktu keberangkatan. Kami beri waktu 15 menit bagi teman-teman untuk membereskan jendela kamarnya.

Saya masih segar selama perjalanan dari kota Parma ke jalan tol yang letaknya di luar kota. Jadi, selama menyusuri kota Parma, saya segar. Dengar radio dan musik serta menikmati pemandangan Parma saat musim panas ini.

Masuklah kami di tol. Saat itulah mulai muncul cobaan untuk tidur. Mula-mula juga saya masih sadar. Jendela dibuka sedikit biar masuk udara. Suhu dalam dan luar mobil memang panas. Maklum musim panas. Lama-lama laju mobil semakin cepat. Saya tutup jendela biar tidak ada rumor lagi.

Pelan-pelan suara musik di mobil hilang. Mata saya mulai tertutup. Saya memakai sabuk pengaman sekarang. Saya tahu saya akan tidur. Dan, baik jika saya kenakan sabuk ini. Untuk menahan badan jatuh ke depan dan kepala ke samping. Biasanya tanpa sabuk, badan mudah jatuh ke depan. Ini tentu saja mengganggu saya yang sedang tidur. Saya tidak ingin hal ini ada. Dan memang, saya berhasil memantapkan posisi badan saya.

Suhu panas rupanya tidak menghalangi  saya untuk tidur. Pelan-pelan saya ngantuk dan tertidur. Tidak sadar lagi. Saya masih sadar sedikit saat teman saya Andres di samping saya membetulkan posisi tidur saya. Rupanya kepala saya miring ke samping kanan. Dua kali dia membangunkan saya untuk mengubah posisi ini. Dengan sayup-sayup saya mendengarnya. Untung badan tidak jatuh ke depan. Ini bukti, sabuk pengaman itu ampuh untuk menahan badan jatuh ke depan.

Untuk ketiga kalinya Andres membetulkan posisi tidur saya. Saat itu, saya makin sadar. Saya mencoba untuk tidur lagi tetapi tidak bisa. Saya keluarkan sabuk pengaman dan pindah ke bangku di tengah yang dari tadi kosong. Saya coba untuk tidur sambil mengencangkan sabuk pengaman. Rupanya tidak ampuh. Saya tetap tidak bisa tidur.

Saya tengok ke luar. Rupanya kami sudah tiba di kota Milan. Tinggal menuju pintu keluar dari tol. Ah, rupanya saya tidur dari Parma ke Milan. Saya memang ngantuk. Rupanya ini jam tidur saya. Tetapi, bisa juga tidak. Sebab, saya juga kadang-kadang tidak istirahat sore. Alasan lain mungkin karena baru selesai makan. Alasan ini mungkin logis. Tetapi, saya makan jam 12.00 tadi. Setelahnya, saya ke kantor polisi untuk urus surat izin tinggal di Italia yang rupanya tidak jadi juga. Ada masalah teknis di sana.

Pulang dari sana, saya makan buah apel. Tidak kenyang tentu saja. Tapi, saya makan supaya ada isi perut. Sebab, kalau perut saya berisi, perjalanan jadi lebih nyaman. Boleh jadi karena nyamannya saya pun bisa tidur nyenyak dalam perjalanan ini. Tak ada bantal, tidur tetap jadi.

Desio-Milan, 22/6/2015
Gordi



Film Tabularasa yang ditunggu-tunggu itu akhirnya diputar. Nunggunya terasa lama. Untung kami melakukan aktivitas lain untuk mengisi waktu kosong yang ada. Bayangkan kami tiba jam 3.30 sore dan film diputar jam 9 malam. Itulah sebabnya kami berkunjung ke gereja katedral Milan, untuk mengisi waktu yang ada. Kami kembali jam 7 sore. 


Selain itu, kami juga sempat bercerita dengan sahabat kami di kota Milan. Sahabat yang sudah pernah bertemu di Parma pada acara sebelumnya. Ada Suster Anna ALI, suster Indonesia yang bekerja di kota Milan, ada temannya orang Italia bernama Eva, ada mbak Julia asal Bogor yang sedang menempuh studi entah S2 atau S3 di Universitas Sacro Cuore Milan. Ada juga Mbak Erni asal Sulawesi Selatan beserta suaminya asal Bandung. Selain dengan mereka, juga dengan teman-teman lain yang banyak sekali jumlahnya. Tak bisa saya sebut satu per satu.


Sebelum pergi nonton film, kami membereskan ruangan makan yang kami gunakan. Kami juga membereskan perlengkapan dan memasukkannya ke dalam mobil. Lalu, kami menuju bioskop.

Bioskopnya tidak jauh dari Casello Ovest di Porta Venezia. Bisa jalan kaki saja. Sekitar 200 meter. Tepat di seberang jalan. Bioskop itu menjadi bagian dari Auditorium San Fedele dan beralamat di Via Hoepli, 3, Milano. Untuk lebih jelas informasi tentang Festival Center  dan Auditorium ini, pembaca bisa klik di sini http://www.festivalcinemaafricano.org/

Rupanya budaya jam karet Indonesia masih berlaku di sini. Katanya jam 9 tapi jadinya 9.30. Film ini berdurasi 103 menit. Katanya juga kami akan bertemu sutradaranya, Adriyanto Dewo tapi tidak bertemu. Kata panitia dia ketenggalan kereta atau entah ada masalah lain. Sebelumnya, diberitakan dia direncanakan akan menerima wawancara dengan para jurnalis sebelum film diputar.

Film akhirnya dipitar dan ditonton bukan saja oleh orang Indonesia tapi juga oleh orang Italia. Resensi film bisa dibaca di sini, http://gordyafri.blogspot.it/2015/05/resensi-film-tabularasa-2014.html
Setelah nonton, kami pulang ke Parma. Tiba di Parma sekitar jam 00 lebih 30 menit. Sudah lewat tengah malam. Lelah tetapi asyik. Ada gunanya jalan-jalan hari ini. bertemu sahabat Indonesia, merasakan kekeluargaan, mengunjungi gereja katedral yang megah itu, dan sebagainya. Tiap perjalanan selalu ada hikmahnya. Terima kasih Mbak Ina, terima kasih Giuseppe, terima kasih untuk teman-teman di Parma dan di Milan. (habis)

Salam dari Parma,
19/6/2015

Gordi


Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa gereja katedral di Milan adalah salah satu gereja terkenal. Tak jarang jika kota Milan memilihnya sebagai ikon. Memang gereja itu megah. 

Bergaya arsitektur Barokah. Kelihatan dari luar saja megah. Banyak runcing-runcing di bagian atap setiap sayapnya. Dari bagian utama yang berjumlah tiga, ke bagian samping yang jumlahnya banyak. Modelnya mirip dengan gereja katedral di Jakarta. Hanya saja tentu ukurannya berbeda. Yang di Milan ini besar sekali. Yang di Jakarta kecil.

Kami masuk bagian dalam gereja ini. Di pintu masuk dicek semua barang bawaan pengunjung. Ada tentara (bukan polisi) yang berjaga di pintu masuk. Entah mungkin ini hanya kebetulan saja. Biasanya polisi yang jaga seperti ketika masuk Basilika Santo Petrus di Vatikan, Roma. Bisa dipahami jika dikaitkan dengan situasi keamanan Italia yang beberapa hari ini (dalam bulan Mei dan sebelumnya) hangat diisukan oleh ancaraman ISIS. Karena kami tidak membawa barang berbahaya, kami diperkenankan masuk.

Di dalam, kami berkeliling ke berbagai sudut. Di sudut utama. Lalu, samping. Bahkan di bagian depan yang dekat dengan altar. Hanya saja sudah dipisahkan, bagian dalam yang dipakai untuk misa, dan bagian luar yang disebut koridor. Pengunjung hanya bisa berkeliling ke bagian koridor ini. Bagian dalam yang berisi kursi umat sudah diberi tali pembatas. Sudah ada umat yang siap-siap untuk mengikuti misa saat kami masuk.

Kami sempat mengabadikan beberapa foto di bagian dalam dan luar gereja katedral ini. Gereja ini ramai dikunjungi. Pengunjungi memenuhi bukan saja bagian dalam gereja tetapi juga halaman gereja yang disebut piazza duomo itu. Kami berfoto di piazza ini. Di bagian lain dari piazza ini terdapat sekelompok orang yang sedang berjoget ria. Joget dengan musik Amerika Latin. Di bagian lain lagi ada pertunukkan sulap. Rupanya ini cara mendapatkan uang. Di akhir sulap, ada penawaran untuk sumbang mereka. Siapa yang mau silakan beri uang. Yang tidak mau, tidak dipaksa.

Setelah itu, kami balik lagi ke tempat semula. Karena kami sudah beli tiket, kami tinggal menunggu jadwal metro. Rupanya tidak lama menunggu. Metro lewat setiap 15 menit. Begitu datang, kami langsung naik. Tidak perlu repot-repot lagi karena dengan mudah kami menemukan petunjuk ke mana kami akan pergi. Saya tidak tahu persis jarak dari duomo ke porta venezia, tempat kami nongkrong itu. Dengan metro mudah dihafal. Hanya tiga stasiun dari duomo dan sebaliknya. Jadi tinggal diingat saja, perhentian ketiga, harus turun. (bersambung)

Salam dari Parma,

19/6/2015
Gordi


Kami sudah bulatkan tekad untuk mengunjungi katedral Milan yang terkenal itu. Sebelum ke sana, kami tanya informasi ke teman kami Simone. Lalu, dia memberikan gambaran rute pergi-pulang naik metro. Nama stasiun yang harus dilewati dan juga pos-pos penting lainnya. Naiknya di Stasiun Venezia dan turun di Stasiun Duomo. Di antara dua stasiun ini ada Stasiun Palestro dan San Babila

Metro adalah jenis kendaraan dalam kota di kota Milan. Sejenis kereta api kecil. Gerbongnya mungkin terpanjang hanya dua. Ada yang satu. Jalannya menggunakan rel kereta api. Kalau di Jakarta, mungkin seperti proyek mono rel yang tidak jadi-jadi itu. Di Milan dan beberapa kota lainnya di Italia sudah jadi, di Jakarta yang jantungnya Indonesia itu belum jadi-jadi.

Kami naik metro yang namanya M1. Artinya Metro dengan jalur 1. Warna linea atau rutenya Merah. Ada M2, M3, M5, dan linea yang digunakan oleh metro dan kereta api. Ini yang disebut Passante Ferroviario. Pembaca bisa cek di situs ini untuk mengetahui jalur Metro di Milan. Nama situsnya Metropolitana Milano, di sini http://www.metropolitana-milano.it/

Kami segera ke stasiun yang letaknya dekat dengan tempat kami nongkrong yakni Festival Center, Casello Ovest di Porta Venezia. Ini nama tempat kami nongkrong. Kami turun dua lantai di bawah tanah lalu ketemu loket untuk beli tiket metro. Tidak mahal harganya. Hanya 1,5 euro. Kalau dirupiahkan sekitar Rp. 20.000. Pergi pulang untuk kami berempat hanya 12 euro.

Tempat penjualan tiketnya juga pakai mesin. Tinggal tanya petugasnya kalau bingung. Dia akan menjelaskan caranya. Lalu, kami masuk di tempat pemeriksaan tiket. Tidak diperiksa pakai jasa manusia. Periksa pakai alat. Jadi tinggal lewat dan menggosokkan tiket di mesin yang sudah ada. Keluar bunyi dan palang pintu akan dibuka. Untuk menggosoknya seperti gosok tiket di mesin penanda tiket di bus-bus kota di Italia. Seperti gosok tiket TransJakarta kalau di Jakarta yang entah sampai sekarang masih seperti itu atau tidak.

Di dalam metro, kami memilih untuk berdiri. Biarkan penumpang lain terutama ibu-ibu yang duduk. Tapi, jangan pikir mereka langsung duduk. Kalau masuk, sebagian besar memilih berdiri dulu, sambil memberi tempat duduk kepada mereka yang membutuhkan. Kalau ada kursi yang betul-betul kosong baru duduk. Tidak ada yang merebut kursi kosong itu. Indah juga di sini. Tertib. Tidak rebutan seperti naik kereta zaman 2010-an di Jakarta.

Sayang tidak bisa lihat pemandangan karena metro berjalan di bawah tanah. Hanya beberapa stasiun yang terletak di atas tanah. Sebagian besar di bawah tanah. Itu sebabnya saat turun, kami harus naik dua lantai lagi menuju pintu keluar ke gereja Katedral kota Milan. Di pintu keluar, tidak ada rebutan. Semuanya tertib.

Di stasiun sudah tersedia banyak peta. Tinggal dicek saja, mau ke arah mana. Petunjuk ke arah pintu keluar juga sudah ditempel di mana-mana. Ah indahnya di sini. Kami pun sampai di pintu keluar tanpa hambatan. Sekarang mulai petualangan ke katedral atau yang disebut il duomo dalam bahasa Italia. (bersambung)

Salam dari Parma,
19/6/2015

Gordi




Acara nonton bareng rupanya baru dimulai jam 7. Kami mendapat berita itu dari teman mbak Ina, Simone, yang juga menjadi salah satu panitia acara ini. Kami berdiskusi sebentar mengenai kesempatan kosong ini. Kami harus memanfaatkannya dengan baik. Saya—dalam hati—sudah mempunyai satu agenda yang mau diusulkan untuk teman-teman. Tapi, entahlah terealisai atau tidak. Katakanlah agenda saya itu sebagai bensin cadangan yang siap dipakai jika bensin tinggal sedikit. Bensin tetap aman dijaga entah dipakai atau tidak, tidak masalah. Demikian agenda saya itu. Kalau mau direalisasikan, bagus, jika tidak juga bagus, tetap menjadi agenda yang relevan di kota Milan ini.

Untuk tidak membuang waktu saya coba menelusuri semua informasi tentang kota Milan. Tetapi, sebelumnya saya lihat-lihat gedung tempat kami berada sekarang. Mulai dari pajangan foto di dua bagian luar gedung. Ada banyak foto yang dipajang. Hanya bagian kepala dan wajah saja. Rupanya di antara tokoh ini ada yang berjasa bagi sesama. Katakanlah pejuang HAM. Yang lainnya saya tidak tahu. Yang jelas foto-foto itu dipajang untuk publik. Biarkan publik mengambil sesuatu dari situ. Saya sendiri melihat sisi seni sebagai pertama. Kemudian, ada sisi kemanusian, perjuangan, hak asasi manusia, juga lingkungan. Rupanya sebagian dari mereka hidup di daerah terpencil di Afrika.

Dari bagian luar ini, saya naik ke lantai dua gedung ini. sebenarnya saya mau ke toilet. Kebetulan toiletnya ada di atas. Sekalian saya perhatikan apa yang ada di sana. Sambil menunggu teman yang lebih dulu, saya menengok ke ruang sebelah. Ada kelompok pelukis anak-anak. Sedang belajar melukis. Di ruang satu lagi, ada kelompok penari. Wah rupanya sedang latihan semua ini. Hanya saya yang datang untuk menyaksikan sesuatu. Kedatangan saya, anggap saja sebagai partisipasi saya. Kalau mereka ini berpartisipasi dalam seni lukis, dan seni tari, saya di seni menonton film saja.

Sepulang dari toilet, saya mengambil satu pamflet yang ada di tangga. Rupanya hari-hari ini di gedung ini sedang diadakan acara budaya. Acara 25 tahun festival film Africa, Asia, dan Amerika Latin yang berlangsung dari 4 sampai 10 Mei 2015. Nah, Indonesia mengusung film TABULA RASA yang disutradarai Adriyanto Dewo. Film-film lain dari Korea, Mianmar, dan sebagainya. Dan, rupanya bukan saja acara festival film. Ada juga acara makan bersamanya.

Di tempat masuk gedung ini, ada ruang tempat duduk-duduk. Seperti duduk di warung pinggir jalan di Indonesia. Di situ, dijual juga beberapa jenis makanan dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin. Kami sempat menikmati beberapa kue di sini sambil bercerita dengan teman-teman Indonesia lainnya dari kota Milan dan sekitarnya. Makan sambil ngobrol banyak hal. Juga, sambil menunggu teman-teman lainnya.

Setelahnya, kami makan bersama. Mbak Ina adalah salah satu yang menyiapkan menu makanan ini. Beberapa jenis makanan lainnya disipakan oleh teman-teman dari Milan. Rupanya panitia juga ikut menikmati makanan ini. Entah dari situ, mereka akan menilai juga atau tidak. Kami teman-teman Indonesia senang karena bukan saja kami yang menikmati. Ada bule Italia, Amerika Latin, dan juga beberapa dari Afrika. Makan makanan Indonesia. Uenakkk.

Setelah makan baru kami mendiskusikan lagi ke mana kami akan pergi. Kami memutuskan untuk melihat Gereja Katedral (Duomo) di kota Milan. Gereja katedral dan piazza wali kota adalah jantung setiap kota di Italia, sedangkan paru-parunya adalah taman kota, dan bulu-bulu kuduknya adalah tembok kota. Il duomo di Milan adalah salah satu gedung terkenal di seluruh dunia. Punya ciri khas artistik yang bagus. Untuk lebih jelasnya kita jumpa lagi di cerita berikutnya. (bersambung)

Salam dari Parma,
18/6/2015

Gordi


FOTO, Gordi
Dalam rencana awal, waktu keberangkatan adalah setelah makan siang. Sekitar jam 2-an gitu. Ini berita yang saya dapat dari teman saya. Maka, saya pun sudah siap-siap mengatur jadwal pribadi saya. Pulang misa hari Minggu di paroki, baca-baca sebentar, siapkan kamera saku, mp4 plus untuk dengar musik, dan sebagainya. Lalu, saya pergi makan siang.

Rupanya jadwal keberangkatan itu tepat sekali. Mbak Ina datang 30 menit sebelum jam 2. Saya sudah menghabiskan menu pertama dan kedua dan sedang menghabiskan buah, ketika teman saya menelepon dari pintu utama rumah kami. Dia bilang kalau mbak Ina, sahabat kami, sudah datang. Kami memang rencananya naik mobil mbak Ina. Setelah makan buah, saya bergegas ke kamar untuk ambil kamera saku. Mbak Ina dan teman-teman sudah siap di depan rumah.

Saya kembali dan kami langsung jalan. Mbak Ina mengemudikan mobil. Kami 6 orang. Kami berempat, mbak Ina, dan seorang sahabat Italia. Namanya Giuseppe. Tiga orang duduk di depan dan tiga lainnya di belakang. Mobil ini besar. Bisa tampung 6 orang. Plus di bagian belakang yang tidak diisi kursi penumpang tetapi disediakan untuk barang-barang.

Saya duduk di bagian belakang, di samping kanan. Bisa lihat-lihat pemandangan. Meskipun saya lebih suka tidur kalau jalan jauh. Apalagi kalau mobilnya asyik. Nyaman untuk tidur. Tidak banyak oleng. Mbak Ina mengemudikan mobil dengan baik. Dia memang seorang sopir yang setiap hari mengemudikan mobil sendiri ke tempat kerja. Sayang, mbak Ina tidak mengemudi sampai kota Milan. Pas di tempat pemberhentian di jalan tol, Giuseppe mengambil alih kursi sang sopir.

Kami berhenti sebentar di sini. Minum air dingin. Saya memilih acqua. Di luar sedang panas. Matahari bersinar terang. Langit tampak biru sekali. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan.

Giuseppe rupanya juga mengemudikan mobil bagus sekali. Dia memang orang Italia. Pasti sudah biasa dengan jalanan di Italia. Tapi, bukan itu rupanya yang jadi penentu. Dia malah bilang, kalau ini kali ketiga dia ke Milan. Jadi, belum tahu betul situasi jalanan di Milan. Di tol tentu saja tidak sulit. Kondisi mobil juga lah yang menentukan. Kata Giuseppe, “Ini mobil baru yah. Bunyi mesinnya halus. Pedal rem, gigi, dan gas juga tidak kaku.”
“Gak baru juga,” kata mbak Ina. “Lima tahunan.”

Wah lima tahun masih kelihatan baru yah. Berarti mbak Ina bisa merawat mobil ini dengan baik. Mobil dan alat bermesin lainnya memang bertahan lama jika tidak banyak pemakainya. Maksudnya, yang mengoperasikannya hanya satu atau dua orang. Mereka tentu tahu betul kondisi dan siasat mesin mobil.

Giuseppe kiranya tahu juga tentang ini. Dia langsung merasakan di kaki kiri dan kanannya kalau mobil yang dia kendarai sekarang adalah mobil yang bagus. Dalam kondisi bagus pula. Dengan itu, dia bisa berkendara dengan nyaman. Dan, karena itu, kami pun tiba di Milan dengan selamat.

Di kota Milan, mbak Ina berkomunikasi dengan temannya, panitia pesta. Setelah dua kali putar-putar di sekitar tempat acara itu, kami bertemu orangnya. Mobil kami langsung masuk parkiran khusus. Parkiran bagian dalam.

Kami lalu menurunkan perlengkapan yang kami bawa. Ada makanan juga rupanya. Selain perlengkapan budaya. Rupanya ini bukan sekadar nonton bareng juga. Ada acara lainnya juga. Nonton bareng hanya satu di antara sekian menu acara. Apakah acara yang lainnya? Sampai jumpa di tulisan berikutnya. (bersambung)

Salam dari Parma,
17/6/2015


Gordi


foto, di sini
Ada undangan nonton bareng film ‘Tabularasa’ di kota Milan. Orang Indonesia menyebut kota ini Milan sedangkan orang Italia, Milano. Jadi, kalau di Italia kita sebut saja Milano, sesuai nama asli kota ini dalam bahasa Italia. Entah dulu, saat zaman romawi, Milano juga atau ada sebutan lain. Yang jelas sekarang namanya masih Milano. Dalam bahasa Inggris memang ditulis Milan saja. Indonesia mengikuti sebutan bahasa Inggris ini. 

Undangan itu datang dari mbak Ina, sahabat kami di Parma. Dia, kami sebut, sesepuh-nya orang Indonesia di kota Parma. Dia sudah datang lebih dulu di sini. Sudah puluhan tahun. Bandingkan dengan saya ini yang belum genap dua tahun ini. Undagan mbak Ina tidak kami sia-siakan. Teman saya, yang sebelumnya bicara dengan mbak Ina, menghubungi kami yang lain. Serentak keputusan terakhir pun kami jawab YA. Jadi, ok, kita ke Milan pada hari yang dijanjikan yakni Minggu 10 Mei 2015.

Kami menerima tawaran ini karena sudah pasti acaranya menarik. Nonton bareng film dari Indonesia. Ketemu teman-teman orang Indonesia. Entah pelajar atau yang sudah bekerja. Entah yang masih muda, jomblo, berpacaran, atau yang sudah berkeluarga, beranak, atau bahkan yang bercucu. Hem…….. sepertinya saya sudah jumpa dengan beberapa keluarga Indonesia yang sudah bercucu.

Ketemu orang Indonesia di luar negeri memang seperti mengobati rindu ke Indonesia. Lebih dari mengobati rindu, pertemuan itu juga menambah rasa kekeluargaan. Dalam budaya Indonesia pada umumnya rasa kekeluargaan ini amat kuat. Itulah sebabnya saking kuatnya, kami tidak memandang perbedaan yang lain. Keluarga besar Indonesia tetap nomor satu.

Kami tahu, kami juga datang dari kampung halaman dan kota yang berbeda. Kami datang dari keluarga yang berbeda. Kami datang dari agama yang berbeda. Tapi, ketika kami bertemu, tidak pernah ada pertanyaan, dari mana, agama apa, pulau mana, orang mana? Pertanyaan itu dilontarkan setelah kami bertemu, berkumpul, duduk bersama, dan merasa berkeluarga dulu. Dengan demikian, rasa kekeluargaan itulah yang utama. Setelah bincang bersama, barulah muncul pertanyaan lainnya.

Dari mana? Dari kota mana? Sudah berapa lama di sini? Tinggal dengan siapa? Masih kuliah? Sudah bekerja? Dan beberapa pertanyaan lainnya. Setahu saya, jarang juga di antara kami ribut soal agama. Tidak juga saling mengejek dari kota mana. Kami disemangati rasa kekeluargaan sehingga kalau pun ada yang bertanya, sekadar ingin tahu saja. Bukan untuk diejek-ejek. Kami sama-sama sadar, kita semua di sini adalah orang Indonesia. Presiden kita adalah Jokowi. Salah satu pendiri negara kita adalah Soekarno.

Maka, nonton bareng adalah salah satu ajang untuk menambah semangat dan rasa kekeluargaan ini. Selamat membaca kisah selanjutnya. (bersambung)

Salam dari Parma
17/6/2015


Gordi

Keindahan ada di mana-mana. Bukan saja di tengah kota modern. Bukan juga di tengah lukisan kuno. Bukan juga di tengah lukisan jalanan. Keindahan ada di alam bebas. Keindahan ada di tengah hamparan gandum.


Betul sekali, keindahan alam itu ada di mana-mana. Tentu di alam bebas. Kata teman saya, Padre Toff, “Kita pergi ke daerah saya sebentar, mau foto-foto pemandangan indah.”

Suara itu muncul di balik gagang telepon. Sore ini, 8 Juni 2015, saya baru saja bangun tidur. Saya langsung bangun mendengar bunyi telepon itu. Muncul nomor 223, nomor asing bagi saya. Tidak kenal. Lalu, saya sapa, hallo. Dijawab dengan suara yang mudah saya kenal. Dialah teman saya, Toff, yang biasa mengajak saya berjalan-jalan di sekitar kota Parma. Dia suka jalan-jalan. Dia ingin mengajak orang lain berjalan-jalan bersamanya. Selain suka jalan-jalan, dia juga membantu orang yang kesusahan. Itulah sebabnya, kami berangkat agak lambat sore ini.

Toff bersama teman masa kecilnya
Rencana semula pukul 16.20. Kami baru bisa berangkat pukul 16.50. Toff masih diskusi dengan seorang bapak tua yang datang meminta uang padanya. Toff berdiskusi karena dia tidak kenal orang itu. Dia mau tahu, siapa yang menyuruhnya datang meminta uang padanya. Bapak itu menjawab tidak ada. Lalu, daripada tambah panjang, Toff memberinya 5 euro. Lalu, satu anak muda marah karena dia tidak diberi uang. Marahnya seolah-olah dia juga berhak mendapatkan uang itu. Padahal, kata Toff, dia sering membantunya. Membiayai perjalanannya dua kali ke Jerman. Katanya mau cari kerja. Rupanya tidak. Toff kesal.

Kekesalan rupanya muncul juga kala membantu orang. Bantuan memang bisa dilihat dari berbagai sisi. Ada yang melihatnya dari segi positif. Ada pula dari segi sebaliknya. Jadinya, membantu menjadi sikap relatif. Dan, memang sebaiknya dengan sikap relatif ini, kita bisa jeli membantu orang. Kadang-kadang—dalam kasus ini—mereka datang meminta uang untuk beli makanan. Padahal, mereka mau beli rokok. Jadinya, kita ditipu. Toff kesal juga dengan hal ini. Boleh jadi dia mau jalan-jalan untuk menghindari kekesalan ini. Saya menangkapnya seperti itu. Maka, saya pun mendesaknya untuk meninggalkan diskusi itu dan segera berangkat.

Untunglah Toff mau setelah beberapa kali dibujuk. Toff sebenarnya mau bukan karena menghilangkan kekesalan itu. Toff mau karena dia mau mengabadikan beberapa pemandagan indah di tengah ladang gandum. Itulah sebabnya, begitu kami tiba di sebuah rumah dia langsung mengajak saya ke belakang rumah. Dia rupanya kenal pemilik rumah itu. Teman kelasnya waktu SD. Kami tidak berniat untuk singgah di situ. Tapi, Toff salah mengambil jalur sehingga kami menyasarkan diri di situ.

Di hamparan gandum belakang rumah itulah, kami mengabadikan beberapa foto. Betapa ladang gandum itu indah. Indah karena ada warna kuning. Kuning--selain putih—adalah simbol kebersihan. Lihat saja benda berwarna kuning. Tampak kebersihan dari permukaannya. Bersih juga adalah sifat yang dekat dengan jujur. Orang jujur pasti bersih. Demikian sebaliknya. Kalau ada orang bersih tapi tidak jujur, itu artinya dia bertindak palsu. Semoga tidak seperti pembuat ijazah palsu di Indonesia.

Orang jujur dihormati di mana-mana. Dia tidak segan masuk di mana saja. Dengan modal jujur, dia tidak merasa terancam meski masuk di daerah terasing pun. Itulah sebabnya, dalam perjalanan ini, kami singgah di tiga tempat berbeda. Pertama, di rumah temannya Toff. Kedua di paroki. Ketiga di rumah Toff sendiri.

Di paroki kami bertemu banyak anak kecil dan orang tua mereka. Juga bertemu pastor paroki. Toff merasa dihormati di sini. Kami membawa mobil masuk sampai di tengah halaman parkir paroki. Padahal, mobil lain tidak boleh masuk. Rupanya Toff kenal baik pastor paroki dan orang-orang di sini. Tak lupa kami mengabadikan beberapa foto di sini.

Demikian juga di tempat ketiga, ketika kami membuat foto di hamparan ladang gandum. Tidak ada yang mencegat kami di sini. Memang kami tidak melanggar peraturan. Pemandangan indah ini terletak tak jauh dari rumah Toff. Maka, kami singgah sebentar di rumahnya. Bertemu keponakannya dan membuat beberapa foto. Foto berlatar bunga-bunga indah. Lalu, kami pamit pulang.

Dalam perjalanan pulang, kami singgah di gelateria, makan eskrim. Ini sudah jadi kebiasaan kami ketika bepergian. Toff sudah menyiapkan semua biaya. Beruntung saya hanya jadi tukang foto saja haha. Eskrim sore ini membuat saya kenyang sekali. Padahal harganya hanya 2 euro. Rupanya di sini porsinya jauh lebih besar dari gelateria lainnya. Agak lama juga saya mengahbiskannya. Tidak apa-apa. Semua indah pada waktunya.

Terima kasih Toff untuk perjalanan sore ini.

PRM, 9/6/15
Gordi
Diberdayakan oleh Blogger.