Halloween party ideas 2015

Belajar Keberanian dengan Mendaki gunung
 
Siap daki gunung
Bagi mereka yang hobi naik gunung, tantangan adalah suguhan yang harus ditaklukkan. Ibarat tukang cetak gol dalam sepak bola, pendaki gunung selalu merasa haus jika belum menaklukkan banyak puncak gunung.

Liburan musim panas kemarin saya isi dengan kegiatan naik gunung. Ini pengalaman pertama bagi saya, naik gunung di Italia. Rupanya butuh 2 tahun untuk bisa mencapai cita-cita ini. Tahun lalu, saya dan teman-teman mampir di daerah pegunungan di Italia Utara ini tapi tidak naik gunung. Kebetulan waktu itu, hanya 3 hari. Kali ini kesempatan itu datang. Tawaran dari teman juga menjadi pendorong yang kuat. Tak ada modal yang bisa diandalkan bagi saya selain rasa percaya diri. Kalau mereka saja sudah lebih dari sekali, masa saya belum coba juga.
 
megah gunungnya
Menengok pengalaman naik gunung, saya sebenarnya sudah sering naik gunung. Ya, saya sering tinggal di daerah pegunungan. Ke gunung pun bukan hal baru. Bahkan sampai di puncak pun sudah sering. Hanya saja ketinggiannya boleh dibilang pas-pasan. Oleh sebab itu, saya pun tidak pernah menyiapkan apa-apa untuk mencapai puncak gunung. Kala jalan-jalan di hutan, saya sudah sampai di puncak gunung. Demikian juga saat kecil waktu mencari kayu bakar, gunung adalah tempat kami menghabiskan akhir pekan.

Gunung yang saya singgahi itu rupanya tidak ada apa-apanya dengan gunung di Italia Utara ini. Dari cara mendakinya saja sudah berbeda. Bayangkan, harus bersepatu, bertongkat, malahan ada ayng menganjurkan membawa kaus tangan dan jaket anti angin. Tentu sudah pasti membawa bekal, entah biskuit, roti, buah-buahan, aqua, dan jenis minuman lainnya. Dari sekian yang terdaftar di sini, saya hanya membawa tongkat, sepatu gunung, dan aqua serta biskuit untuk mengganjal perut. Kami memang tidak berencana untuk mencapai puncak yang banyak sekali. Kami hanya menargetkan sampai pada pos ketiga. Kalau kuat sampai pos keempat. Sementara waktunya hanya 7 jam. Dari jam 8 sampai jam 3 sore.
 
kalau capek istirahat bentar
Saya sudah membangun niat agar pendakian ini berhasil. Capek boleh asal sampai pada pos yang kami targetkan. Saya sudah bertanya-tanya pada 2 teman saya tentang cara naik gunung, bagaimana mencari jalan singkat, bagaimana mendaki di bebatuan, bagaimana menjaga tubuh agar tidak cepat capek. Mereka berdua adalah ahli dalam pendakian ini. Satunya lebih dari 4 kali mendaki di daerha ini, satunya lagi lebih dari 6. Saya memberi rambu-rambu juga jika terjadi sesuatu (capek, pingsan, dan sebagainya) di gunung nanti, kalianlah yang harus jadi penopang agar saya bisa sampai garis akhir.

Pagi pukul 8, kami berangkat dari rumah. Saya membawa tas berisi biskuit. Tidak berat, toh biskuitnya hanya 4 bungkus. Dengan ini, langkah kaki saya jadi ringan dan lebih cepat. Dari tanjakan kecil dan lurus, ke tanjakan tinggi dan tikungan tajam. Kami mengisi botol air kami dengan acqua yang ada di pos pertama. Kami menargetkan bahwa kehausan akan muncul setelah pos pertama. Sebelum masuk pos pertama, kami menyaksikan para pembalap sepeda gunung. Jumlahnya banyak. Barisannya juga rapi. Saya bayangkan bagaimana barisan ini jika sampai di gunung? Kami juga masih melihat bis dan mobil kecil yang mengangkut penumpang sampai ke pos yang bisa dilalui kendaraan roda empat.
 
pegang erat talinya
Dari pos pertama, jalanan masih luas. Berukuran 2 mobil kecil. Kami sengaja tidak memakai jasa mobil ini karena mau merasakan tanjakan ini. Kami melewatinya dengan irama santai. Tidak tergesa-gesa. Setelah 2,5 jam, kami tiba di pos kedua. Dengan napas terengah-engah, kami tiba di tempat strategis di samping pos. Kami pun memilih untuk duduk di beranda. Para pendaki lain memesan makanan dan minuman. Sedangkan kami tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Kami menghabiskan 20 menit di sini.

Perjalanan dari pos kedua ini rupanya makin menantang. Jalur ini hanyalah jalan setapak, tidak ada lagi mobil yang bisa lewat. Saya melihat gunung tinggi dari dekat. Rasa-rasanya ada di belakang kepala. Melihatnya pun harus mendongak karena puncaknya tinggi sekali. Meski rasanya dekat, puncaknya masih jauh. Kami harus melewati jalanan berputar untuk sampai ke sana. Jalanan berputar sesuai arah yang sudah ditentukan oleh para pendahulu. Di sinilah keberanian itu rupanya diuji. Kalau tidak kuat, rasa-rasanya harus berhenti di pos kedua ini. Saya pun merasakan hal itu. Tetapi, saya berpikir lagi. Sudah sampai pos kedua kok mosok pulang lagi. Targetnya sampai pos ketiga, minimal.
 
tempat istirahat pos 3
Dengan modal mencapai target ini, keberanian saya makin besar. Mulailah pendakian melewati tebing pasir. Di sini, pendaki harus berjalan satu-satu. Bahkan, tunggu lewat sampai di ujung tebing baru bisa diikuti pendaki berikutnya. Saya melihat sepatu saya sambil membayangkan seandainya jatuh. Paling-paling jatuhnya di tebing dan pasti terguling sampai di kaki gunung. Untunglah dengan modal hati-hati dan belajar dari petunjuk yang tertera, saya bisa melewati tantangan pertama ini.

Tantangan ini jadi pintu ke langkah berikutnya. Jika di sini berhasil, Anda punya modal kuat untuk tantangan berikutnya. Berikutnya adalah berjalan di tebing batu. Sebagai pijakan kaki, ada anak tangga yang sudah dipasang. Sedangkan tangan harus setia di tali besi yang menempel di dinding tebing. Dengan dua benda ini, pendakian pun berlanjut. Setelah melewati tebing batu ini, kami masih melewati tebing pepohonan rindang. Di sinilah tempat untuk membuang semua keringat dari pendakian sebelumnya. Rasanya sejuk, tidak ada matahari, dihadang oleh berbagai jenis daun. Hanya ada suara burung dan gemericik air pegunungan serta gaungan suara pendaki berteriak dari balik tebing.
 
pos-nya dilengkapi dengan restoran dan hotel tempat istirahat
Dari sini sampai pos ketiga kebanyakan jalanan miring dan tidak mendaki seperti sebelumnya. Ingin lama-lama di sini, tetapi jaraknya jauh sehingga mau tak mau harus jalan terus. Setelah jalan setapak yang sejuk ini, sampailah kami di pos ketiga. Di sini ada restoran besar. Sebelum kami, sudah banyak pendaki yang tiba di sini. Mereka menikmati peristirahatan di sini. Ada yang baring-baring di ayunan, di kursi, dan sebagainya. Ada pula anak kecil yang bermain. Dia senang berada di tempat ini. Orang tuanya juga senang karena sudah melewati pendakian tebing batu yang curam tadi. Kami juga menghabiskan waktu istirahat ini dengan berfoto-foto dan menghabiskan biskuit tadi. Setelah beristirahat selama hampir satu jam, kami pulang.

Jalanan turun tidak terlalu capek. Hanya saja, lutut terasa gemetar dan harus bekerja keras. Beban yang mesti ditahan besar. Bayangkan lutut harus menahan badan pas di tempat turunan curam dan tikungan tajam. Untunglah selalu ada tali sebagai pembantu tangan agar tidak jatuh. Dengan lutut gemetar dan bantuan tali, saya pun berhasil menjaga kondisi badan agar tetap kuat.
 
hati-hati ya
Selain rasa gemetar, jalanan turunan ini rupanya membutuhkan keberanian juga. Beberapa kali, saya merasa kurang yakin dengan pijakan sepatu di jalan setapak yang disediakan. Dengan gemetar, saya mencoba mengubah haluan pijakan, mencari yang pas dan bisa diandalkan. Kadang-kadang ada bagian yang licin juga. Untunglah tangan tertancap di tali pegangan. Jadinya hanya gantung saja sambil mencari pijakan kaki yang pas.
 
penjelajah gunung
Wah rasa-rasanya seru banget. Kata kuncinya adalah keberanian. Jika tidak berani, jangan naik gunung. Tantangannya besar. Risikonya juga besar. Atau capek, pingsan, atau takut. Tetapi dengan keberanian, tantangan itu jadi kecil. Tidak ada tantangan yang tidak bisa dihadapi. Harus berani berkata dan berprinsip, saya lebih besar dari tantangan. Bahkan, melihat besar dan tingginya gunung, kita tetap berkata, saya paling besar dari gunung ini sebab saya bisa berada di atasnya.
 
il grande
Sekian pengalaman naik gunung yang menumbuhkan rasa keberanian ini.

Salam cinta alam.

PRM, 10/2/2016
Gordi

Dipublikasikan pertama kali di sini



Belajar Kehidupan dari Pohon tak Berdaun



Jika ditanya, apa ciri khas musim dingin di Eropa? Salah satu jawaban adalah pohon-pohon yang tak berdaun. Masih banyak jawaban lainnya tapi jawaban yang ini yang paling pasti. Sudah jadi bayangan setiap orang, jika musim dingin identik dengan pohon tak berdaun.

Sabtu pagi kemarin, saya menyaksikan pohon-pohon tak berdaun itu. Mulai dari melirik dari jauh sampai saya mendekatinya. Tidak lama. Hanya 45 menit. Boleh dibilang 45 menit yang berharga. Saya keluar dari rumah membawa serta jaket, topi untuk musim dingin, dan syal di leher. Tidak berkaus tangan. Tentu kaki bersepatu. Kaus tangan ditinggalkan sebab saya mau memotret pohon-pohon tak berdaun itu. Apalagi matahari menyinarkan sedikit cahayanya. Meski matahari amat pelit, cahaya yang ada membuat hati ini bergembira.



Sebenarnya bukan kali pertama, saya bertemu pohon-pohon ini. Sering kali saya lewat di sini. Dengan sepeda atau berjalan kaki. Rasa-rasanya memang saya sering berkontak dengan pepohonan ini. Tapi pertemuan hari ini cukup unik.

Saya memandang dari jauh, dari seberang jalan. Lalu, saya mendekat. Saya tidak mau berkata-kata, tidak juga berdecak kagum, tidak juga menghakimi, tidak juga merasa iri. Saya membiarkan pohon-pohon itu menampakkan keasliannya pada saya. Saya juga tidak mengeluarkan kamera saku yang sudah saya siapkan di saku jaket. Antara saya dan pohon-pohon itu memang hanya ada ruang. Saya tidak mau menyebut ruang itu sebagai keindahan. Saya hanya mau menikmati ruang antara saya dan pohon-pohon itu berlama-lama. Jadilah saya dan pohon-pohon tak berdaun itu saling tatap.

Dalam dialektika orang Eropa, saya sedang menatap pohon tak berdaun itu. Maka, saya yang aktif sedangkan pohon itu pasif. Sepintas memang pohon itu seperti mati. Tak bergerak, tak bersuara. Biasanya pohon bersuara kala daunnya bergerak disapu angin. Pohon juga bergerak kala dahannya bergoyang diterpa angin. Orang Eropa dengan rasionalismenya boleh mengatakan demikian. Orang Timur (Asia) sebaliknya menilai pohon-pohon itu sedang menampakkan diri pada saya. Jadi, bukan saya yang sedang memandang (yang aktif) tetapi pohon-pohon itulah yang menampakkan diri (yang aktif). Penilaian ini bisa tercapai hanya dalam pengalaman. Maka, orang Timur memang sarat dengan hal-hal yang berbau empiris.



Saya tidak mau berkutat dalam cara pandang yang berbeda ini. Saya hanya mau menatap pohon-pohon ini. Dalam tatapan ini, saya juga sebenarnya melihat penampakan pohon-pohon itu. Jadi, bukan saya saja yang sedang memandang tetapi pohon-pohon itu juga yangg sedang menampakkan diri. Dari pertemuan inilah saya dapatkan keindahan dan arti hidup yang tiada tara.

Betul-betul mengagumkan pemandangan pohon-pohon itu. Saya tak menemukan pemandangan ini di Indonesia. Biasanya pohon tak berdaun di Indonesia diibaratkan dengan kematian. Pohon tak berdaun berarti pohon mati. Di sini rupanya lain. Pohon tak berdaun itu rupanya hidup. Dan bukan saja sekadar hidup, tetapi juga masih bertenaga, masih mampu membuat kreasi baru, menciptakan keindahan. Memang, pohon tak berdaun itu menampakkan keindahannya.



Pohon itu ibarat manusia yang berkepala botak. Boleh jadi ada yang menilai aneh. Kepala kok tak ber-rambut. Demikian dengan pohon tak berdaun. Pohon kok tak berdaun. Tetapi, kalau kita membuang penilaian sepihak seperti ini, kita menemukan keindahan dan relasi yang tiada tara. Orang Eropa atau Italia pada umumnya tidak memandang aneh terhadap orang berkepala botak. Bagi mereka, berkepala botak atau tidak, orang itu tetaplah sama dengan yang lain. Ada kesamaan umum yakni makhluk hidup yang diciptakan. Maka, kebotakan bukanlah keanehan. Kepala botak dalam hal ini ya sama dengan kepala ber-rambut.

Orang Eropa memandang pohon tak berdaun seperti memandang laki-laki tak ber-rambut. Tidak ada bedanya. Itulah sebabnya, pohon tak berdaun pun bukan saja dihargai/dihormati tetapi juga dirawat. Ini kiranya menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia yang memiliki hutan luas dengan berbagai jenis pohon tetapi rakus membakar hutan. Di sini, pohon tak berdaun pun dipelihara karena memang pohon itu juga berhak untuk hidup. Kita seharusnya belajar dari mereka, menghargai pohon yang hidup. Jarang sekali pohon tak berdaun berkeliaran di hutan Indonesia. Kalau pun ada, pasti ada orang yang membuatnya demikian. Di sini, pohon itu tak berdaun karena alam membuatnya demikian. Maka, alam sebenarnya adalah yang berkuasa atas pohon-pohon itu. Kita sebagai sesama makhluk hidup harus menghormati alam yang mengatur semua ini.



Supaya tulisan ini tidak membosankan, saya berhenti di sini. Biarlah foto-foto yang berbicara selanjutnya. Sebab, sebagaimana pohon-pohon itu dekat dengan manusia, foto-foto ini kiranya mampu berbiacara dari dekat kepada kita. Selamat menikmati dan selamat berakhir pekan.

PRM, 6/2/2016
Gordi

*Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana



Bunga Cantik Penggoda Mata



Bunga cantik menjadi incaran banyak orang. Sayangnya tidak banyak orang yang merawat dan menanam bunga. Untuk menjadi pecinta bunga memang tidak mudah. Penjual bunga yang sukses bukan saja dia yang mampu menjual seluruh bunganya dalam sehari. Penjual bunga yang sukses mestilah dia yang punya hati untuk mencintai bunga. Cinta itulah yang membuat dia bukan saja sekadar menjual tetapi menanam, merawat, membuatnya cantiK hingga menjualnya kepada orang lain.

Bunga mungkin termasuk salah satu tumbuhan yang disepelekan. Maksudnya, tidak banyak yang menaruh perhatian pada bunga. Banyak yang mengabaikan bunga. Biarkan saja bunga itu tumbuh sendiri, menghasilkan wangi indah dan warna menarik, lalu bunga itu pun layu dan mati sendiri. Bunga seperti ini sering kita temui dan kita pun memberinya label seperti bunga tamu. Bunga yang seperti tamu yang datang tak diundang dan pergi tak pamit. Meski demikian, kita tidak dapat memungkiri jika banyak pecinta bunga. Entah pecinta sekadar cinta, sekadar rasa tertarik, sekadar mengagumi, dan pecinta ala kadar lainnya. Bunga—bagaimana pun—mendapat tempat di hati banyak orang.



Waktu liburan musim panas kemarin, saya sempat tinggal beberapa hari di daerah pegunungan. Banyak hal menarik yang kami lihat di sana. Saya sendiri mengagumi banyak hal ketika menyusuri berbagai tempat sekitar. Salah satu hal yang saya kagumi adalah banyaknya bunga yang indah. Tentu saya bukan pengagum balita (bawah 5 tahun) dalam hal ini. Saya memang mengagumi keindahan bunga yang saya lihat. Bukan kali ini saja. Kali sebelumnya juga demikian.

Kekaguman kali ini muncul karena bunga yang saya lihat justru bunga pot. Hanya berupa pot-pot yang ditaruh di luar jendela kamar rumah bertingkat atau juga di balkon kamar hotel. Rumah di sini maksudnya apartemen di gunung. Rumah ini biasanya banyak dihuni para wisatawan pada musim panas. Saya perhatikan begitu banyaknya pot yang ada. Diletakkan di luar jendela pas di bagian ambang jendela. Di Italia, di luar jendela yang paling luar biasanya ada bagian jendela tempat meletakkan daun jendela. Bagian ini biasanya dibuat dari sebilah tembok berbentuk papan dengan berbagai ukuran. Ukurannya bermacam-macam tetapi bentuknya pipih seperti papan. Bagian ini dipasang tepat di bagian bawah jendela. Fungsinya sederhana yakni menjadi batu pijakan untuk daun jendela. Maklum, rata-rata rumah di sini berjendela ganda. Ada kaca berlapis di bagian dalam dan ada daun jendela bagian luar.



Pot-pot bunga biasanya diletakkan di bagian ini tepat di luar daun jendela. Di tempat yang kami kunjungi, saya melihat semua pot berjenis sama, bahkan bunga juga berjenis sama. Warnanya pun seragam. Bayangkan 1 hotel berlantai 5. Masing-masing lantai memiliki 10 kamar. Total 50 kamar. Dari 50 kamar ini, katakanlah masing-masing punya jendela 3. Total jendela 150. Tentu hanya 1 yang akan ditempati pot bunga. Biasanya jendela kamar yang paling strategis. Biar penghuninya merasa nyaman, menikmati pemandangan sambil menghirup wangi bunga dan melihat keindahan warna bunga itu.

Kesan saya hanya satu, indah sekali. Kok bisa ya? Ya, seperti dikatakan tadi. Untuk menjadi penjual bunga tidak cukup menjual habis bunga dalam sehari tetapi mesti punya hati untuk mencintai bunga. Saya yakin pemilik apartemen ini bukan orang yang tidak cinta bunga. Atau memang mungkin sudah diatur sedemikian rupa untuk memasang jenis pot dan bunga yang sama pada musim panas sehingga hasilnya pun indah dan cantik. Apakah mereka pura-pura menampilkan keindahan di musim panas saja? Rasa-rasanya tidak. Mereka memang pecinta bunga. Saking cintanya, mereka menyalurkan cinta itu untuk merawat bunga yang ada di pot itu.



Pekerjaan ini mudah saja tetapi kalau tidak dikerjakan dengan cinta, hasilnya kurang bagus. Sebaliknya, dengan cinta, pot bunga sederhana itu justru menggoda hati pengunjung untuk menikmati keindahan bunga itu. Sekian saja dulu tentang bunga pot cantik penggoda mata.



Salam cinta lingkungan.

PRM, 1/2/2016
Gordi

Dipublikasikan pertama kali di sini BUNGA CANTIK PENGGODA MATA



Diberdayakan oleh Blogger.